Oleh: Abdur Rozaq
KABARPAS.COM – ENTAH mengapa, dari atas pelaminan aku merasa ada yang terus mengawasi kami. Berkali-kali kupastikan jika tak ada orang jahat, tapi tak ada yang mencurigakan. Semua orang nampak wajar-wajar saja. Para tamu nampak begitu menikmati pesta, apalagi Bapak Mertua yang selalu menebarkan senyum kepada siapa pun. Para famili juga nampak semringah beramah tamah dengan para tamu. Deretan meja-kursi di sepanjang tenda malah nampak semringah selayaknya dalam sebuah pesta pernikahan. Namun entah bagaimana, aku malah semakin jelas merasakan hal ganjil, entah apa. Tubuhku gerah meski sebuah kipas besar di pasang di sebelah pelaminan. Zulfa istriku, sepertinya mulai menyadari jika aku sudah berkali-kali menyapukan pandangan ke seantero tenda pesta. Ia kemudian mendekatkan wajahnya untuk bertanya.
“Ada apa, sih? Dari tadi kok kelihatan sibuk melihat ke sana kemari?”
“Nggak. Tak ada apa-apa,” timpalku berbohong.
“Yang anteng, dong. Malu sama tamu. Nanti jadi omongan orang karena pengantinnya jelalatan,” kulihat wajah Zulfa sedikit cemberut. Masih terlihat jelas dari balik make up pengantinnya yang super tebal.
“Emm, sejak tadi seperti ada yang terus memperhatikan kita,” kataku, untuk meredam Zulfa.
“Ya wajar lah, Mas. Namanya juga pengantin di atas pelaminan, ya diperhatikan banyak orang.”
“Bukan begitu maksudnya. Sejak tadi seperti ada yang terus memperhatikan kita sambil apa, gitu.” Zulfa berdiri karena seorang tamu naik ke pelaminan untuk memberikan sebuah kado padanya.
Di ujung deretan meja tamu, kulihat seorang perempuan agak tua menatap Zulfa dengan sorot mata yang aneh. Menatap tajam, tapi bukan tatapan riang kepada sepasang pengantin seperti kami. Hampir semua tamu sesekali menatap kami dengan ceria, namun mata perempuan itu, terasa tajam dan mengerikan. Ketika kutatap juga matanya seraya membaca Ayat Kursi dalam hati, ia menunduk.
“Siapa perempuan itu,” tanyaku pada Zulfa, istriku.
“Yang mana? Suara Zulfa tertelan suara sound system.
“Perempuan tua berkebaya hijau.” Aku harus berkata dengan sedikit keras karena suasana begitu gaduh.
“Yang duduk di kursi dekat tiang?” Tanya Zulfa mendekatkan bibirnya di telingaku. Zulfa segera menghentikan ucapannya karena serombongan tamu naik ke atas pelaminan. Sepertinya teman-teman Zulfa di pesantren. Gadis-gadis itu berebutan menyalami istriku, lalu riuh rendah melontarkan ucapan selamat, kelakar bahkan celetukan usil. Seorang gadis bertubuh bongsor malah terang-terangan bertanya “Gimana, enak?” Zulfa mencubit pinggulnya yang gembul.
Setelah rombongan itu turun, beberapa tamu lain kemudian bergiliran naik ke pelaminan untuk menyalami istriku. Hingga akhirnya, seorang gadis dengan tatapan aneh juga menyalami Zulfa.
“Selamat, ya?” Gadis itu berujar demikian seraya mencium pipi Zulfa. Sekelebat, kulihat ia menaburkan entah apa pada karpet pelaminan yang berwarna merah. Ketika hendak kulacak serbuk yang sepertinya debu itu, beberapa tamu laki-laki malah naik ke pelaminan, menyalamiku.
Selepas adzan Isya’ para undangan semakin membludak. Ayah dan Ibu mertuaku nampak sibuk mempersilahkan dan menyapa mereka dengan wajah berbinar. Para famili dan tetangga pun, hilir mudik mengeluarkan piring berisi nasi dan kue suguhan. Para tamu yang datang dan pergi dengan silih berganti membuat tenda pesta begitu riuh. Semua orang nampak sibuk, namun tetap nampak ceria.
Dari belakang sana juga terdengar riuh suara para famili yang sibuk mempersiapkan konsumsi. Terdengar pula suara piring dan sendok beradu, namun entah dari mana, tiba-tiba kucium bau kemenyan. Awalnya aku kaget, tapi setelah teringat bisa jadi itu dibakar oleh orang pintar sebagai ritual pengundang tamu, aku sedikit tenang.
Namun aku merasa ganjil karena bau kemenyan itu tidak seperti yang biasa dibakar untuk ritual mengundang tamu. Seingatku, kemenyan yang dibakar saat hajatan bukan kemenyan madu seperti ini. Aku hapal betul aroma kemenyan Arab dan kemenyan Jawa. Kemenyan Arab sudah lumrah dibakar sebagai wewangian dan konon disukai para malaikat. Sedangkan kemenyan Jawa, bisanya digunakan orang untuk mengundang mahluk-mahluk halus pengganggu.
“Kok bau kemenyan?” Tanyaku pada Zulfa.
“Kemenyan apa?” Sergah istriku penasaran.
“Ya kemenyan. Kamu tidak menciumnya?”
“Nggak.”
“Masa kamu tidak menciumnya? Baunya menyengat, kok.”
Baru saja kami akhiri percakapan, Ibu Mertua tiba-tiba menuding seorang tamu di bawah sana. Ia berteriak-teriak mencaci seorang tamu laki-laki yang nampak kebingungan.
“Pergi kamu!” teriak Ibu Mertua seraya menuding tamu itu. Yang dilabraknya malah kebingungan dengan wajah merah padam.
“Pergi! Siapa yang mengundangmu?” Lelaki setengah baya yang dilabrak Ibu Mertua tak tahu harus berbuat apa. Untungnya, Bapak Mertua segera menarik tangan Ibu.
“Dik! Ada apa sih?”
“Suruh pergi, dia!” Teriak Ibu Mertua, melengking di antara suara bising sound system.
“Dik, apa-apaan sih?” Tukas Bapak Mertua.
Ayah mertua kemudian menenangkan Ibu dan berkali-kali membungkuk memohon maaf kepada tamu tersebut. Namun sejurus kemudian, Ibu Mertua malah mengangkat sebuah meja sehingga apapun di atasnya berhamburan. Ibu Mertua kemudian tertawa terbahak-bahak seraya naik ke atas meja. Dan dengan gerakan yang tak masuk akal, Ibu Mertua mencopot semua yang dikenakannya. Di depan puluhan pasang mata para tamu, Ibu Mertua menari-nari dengan tubuh tanpa sehelai benang pun. Semua orang hanya ternganga karena keganjilan itu. Ayah Mertua, Lik Nur, Pak De dan entah siapa saja seakan digendam sehingga terdiam tak berbuat apa-apa. Ratusan pasang mata terarah ke tubuh polos Ibu Mertua, dan tak bisa berbuat apapun. Dan entah bagaimana, aku tiba-tiba sudah meloncat dari atas pelaminan seraya menyambar sebuah tampak meja di dekat pelaminan. Kutepuk pundak Ayah Mertua, lalu kusuruh untuk segera menutup tubuh Ibu Mertua dengan kain itu.
Setelah tubuh Ibu Mertua dibopong oleh beberapa orang menuju ruang tamu, tangis kemudian pecah dari para perempuan yang berada di bawah tenda. Pesta terhenti. Operator mematikan sound system dan kegaduhan tak bisa dilerai. Lik Nur kemudian berteriak-teriak.
“Ini pasti gangguan. Ini sihir! Kakakku tidak gila.” Semua orang hanya melongo menatap Lik Nur yang kalap.
“Ayo keluar! Jangan pakai santet! Kita carok saja!” Teriak Lik Nur seraya menyapukan pandangan ke segala penjuru. Seorang tamu di pojok tenda kemudian dihampirinya dengan tergesa.
“Siapa, kamu pelakunya?” Bentak Lik Nur. Tamu itu mengangkat kedua tangannya mengisyaratkan sangkalan.
Untungnya, Pak De Salam kemudian merangkul dan menenangkan Lik Nur yang kalap.
“Nur, nyebut, Nur!”
“Tak bac*k, cak!” Teriak Lik Nur kalap.
“Sudah! Jangan bikin suasana makin panas!” Ujar Pak De Salam dengan dada naik turun. Semua orang hanya bisa terdiam serba salah. Para perempuan menangis, sementara para famili mondar-mandir mencari siapa pelaku semua ini. Tanpa sepengetahuan siapa pun, Zulfa terjatuh dari kursi pelaminan. Pingsan. Beberapa orang kemudian naik ke pelaminan, membantuku mengangkat tubuh Zulfa yang mengejang. (***).
___________________________________________________
*Setiap Minggu Kabarpas.com memuat rubrik khusus “Nyastra”. Bagi Anda yang memiliki karya sastra, baik berupa cerita bersambung (cerbung), cerpen maupun puisi. Bisa dikirim langsung ke email kami: redaksikabarpas@gmail.com.