Menu

Mode Gelap
Wujudkan Mimpi Pebasket Muda Jatim, MPM Honda Jatim Gelar Honda DBL 2023 East Java Series Dukungan Mas Dion Maju Cabup Pasuruan 2024 Kian Masif

Ruang Sastra · 1 Mei 2016

Pengalaman Pertama Seorang Caddy (Bag-2)


Pengalaman Pertama Seorang Caddy (Bag-2) Perbesar

Oleh: Fajar Dwi Putra

(Kabarpas.com) – TAK terasa pelatihan sudah berjalan satu bulan, aku sudah mulai menguasai pekerjaanku sebagai Caddy. Begitu banyak pengalaman yang sudah aku lakukan bersama teman-temanku, mulai dari bagaimana memperlakukan tamu dengan baik sampai pada servis yang harus diberikan pada saat-saat tertentu.
Hari ini adalah hari terakhir aku pelatihan, makanya aku akan berangkat agak pagian. Jam di kamarku sudah berdenting keras sebanyak lima kali, itu tandanya aku sudah harus bersiap-siap, melaju menembus dinginnya Jakarta.

Tapi setidaknya ada banyak hal yang aku dapatkan dari beberapa kejadian selama aku pelatihan. Buku-buku masih berserakan di lantai kamarku, aku sengaja membiarkannya, sejauh ini kamar kosku aman-aman saja, jadi ketika aku pergi meninggalkan kamar barang-barangku tidak pernah ada yang hilang.

Aku kos di daerah Salemba, tempatnya lumayan bagus, yaaa untuk ukuran aku yang masih remaja, bisa dibilang lebih dari cukup. Aku nyaman tinggal di sini, selain Ibu kos nya yang tidak satu induk semang dengan aku, juga suasana di sekitar kos yang tenang, kamar-kamar sebelahku juga baik-baik orangnya, meski jarang ketemu karena sibuk dengan kegiatan masing-masing tapi aku sesekali menyempatkan untuk mengobrol dengan mereka.

Pagi ini aku berjalan menyusuri pinggiran kota Jakarta, kota ini masih terlalu sunyi untuk aku jajaki, tapi aku harus berangkat sekarang. Kesunyian kota yang orang bilang pusat perekonomian masih tertidur dengan pulasnya, namun belum sempat aku memejamkan mata, aku sudah melihat beberapa mobil melintas di jalan-jalan protokol..hmmm belum juga aku berbenah, Jakarta sudah mulai menggeliat, sudah mulai macet.

Jam tanganku menunjukkan pukul setengah 6 pagi, sebentar lagi bus yang akan mengantarku akan segara datang. Aku memusatkan konsentrasiku ke arah depan, melihat tiap kendaraan yang lewat..dan akhirnya..aku dapat juga bus.

Bus melaju perlahan-lahan menyusuri jalanan kota Jakarta pagi ini, semuanya terlihat tenang, entah karena perasaanku yang senang atau memang kondisi Jakarta yang masih lengang. Aku duduk dibangku ke dua dari depan, suasana bus masih sepi, hanya ada dua atau tiga penumpang saja.

Suara kernet melengkapi perjalananku pagi ini, apa yang aku bayangkan tentang pagi ini akan menentukan hari kerja berikutnya. Aku meluruskan pandanganku jauh ke depan, menerobos semua embun kota Jakarta pagi ini, muncul berbagai macam pertanyaan dalam pikiranku, pertanyaan yang sering kali menggelayuti dalam setiap malam-malamku, soal pekerjaan, kehidupan dan masa depan nanti.

Apakah aku akan terus menjalani pekerjaanku ini? Muncul sebuah keraguan, keraguan yang begitu mendalam, entah karena apa? Hmmm kenapa aku jadi seperti ini?
Tak berapa lama naiklah seorang Ibu membawa anaknya, dia duduk disebelahku.

“Permisi non” katanya
“Oh iya Bu, silahkan” aku mempersilahkan Ibu itu duduk disebalahku”
“Mau kemana Bu?”
“Blok M non”
“Anaknya kenapa Bu?” tanyaku
“Sakit non”
“Sakit?”

Laju bus terus berjalan, seakan menggilas semua yang ada di depannya, tak menghiraukan seberapa jauh roda mengayun, apakah seperti inikah hidup? Terus berjalan? Tapi sejauh roda ini berputar pasti akan berhenti di sebuah terminal? Hmmm terminal? Mungkin seperti inilah hidup, akan terus berjalan dengan semua keadaan yang tak bisa ditawar, lalu jika memang semua ini adalah sebuah perjalanan, kenapa dalam perjalanan harus ada pemberhentian? Lalu untuk apa dalam hidup harus berhenti? Sebenarnya bukan berhenti, melainkan istirahat sejenak, lihat saja bus atau kendaraan yang lain, pasti sejauh mereka berjalan kemanpun, pasti akan ada jalan dimana mereka akan berhenti meski hanya sejenak.

“Sakit apa Bu?” kataku sambil melihat anaknya.
“Sudah 3 hari panasnya ngak turun-turun” jawabnya singkat sambil terus memeluk anaknya.
“Ibu tinggal sendiri?
“Suami sudah meninggal lama non, dan saya harus berjuang menghidupi anak saya satu-satunya”
“Oh maaf Bu, saya tidak tau”
“Gpp, non sendiri mau kemana?”
“Saya mau kerja Bu”

Ibu itu terus memeluk anaknya, seakan tidak mau melepaskannya walau hanya sebentar saja. Aku jadi berfikir apakah Ibu ini bisa hidup dengan layak? Lalu bagaimana Ibu ini harus meleawati hari-harinya? Inilah hidup dengan semua rutinitasnya, tak ada yang bisa memprediksikannya, semua perjalanan sudah ada yang mengatur. (***).
____________________________________________
*Setiap Minggu Kabarpas.com akan memuat rubrik khusus “Ruang Sastra”. Bagi Anda yang memiliki karya sastra, baik berupa cerita bersambung (cerbung), cerpen maupun puisi. Bisa dikirim langsung ke email kami: redaksikabarpas@gmail.com. Untuk setiap karya yang dimuat dalam rubrik “Ruang Sastra” akan mendapatkan merchandise menarik dari Kabarpas.com.

Artikel ini telah dibaca 83 kali

Baca Lainnya

Sang Pemenang

8 Desember 2024 - 19:55

Pasrah Menanti

28 Januari 2024 - 22:38

Senyummu

21 Mei 2023 - 20:34

Kekasih…

20 Maret 2022 - 23:56

Syahdunya Malam Tahun Baru

2 Januari 2022 - 01:27

Membersamaimu dengan Ikhlas Part-2

19 Desember 2021 - 21:53

Trending di Ruang Sastra