Oleh : Hafidz A’inur Ramadhan, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Sidoarjo Fakultas Fisip Ilmu Adminitrasi Publik, Semester 5
Pajak merupakan alat bagi pemerintah dalam mencapai tujuan, untuk mendapatkan penerimaan baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung dari masyarakat, guna membiayai pengeluaran rutin serta pembangunan nasional dan ekonomi masyarakat. Sistem perpajakan selalu mengalami perubahan dari masa kemasa, sesuai perkembangan masyarakat dan negara, baik dalam bidang kenegaraaan maupun dalam bidang sosial dan ekonomi.
Salah satu pajak yang mempengaruhi pendapatan daerah adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Meliala dan Oetomo, (2010:65), Pajak Bumi dan Bangunan yang disingkat PBB yaitu pajak paksa atas harta tetap yang diberlakukan melalui Undang-undang Nomor 12 tahun 1994.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan salah satu faktor pemasukan bagi negara yang cukup potensial dan kontribusi terhadap pendapatan negara jika dibandingkan dengan sektor pajak lainnya. Strategi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tersebut tidak lain karena objeknya meliputi seluruh bumi dan bangunan tersebut yang berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Penerimaan pajak dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi suatu negara karena pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan pendapatan masyarakat, sehingga masyarakat mempunyai kemampuan finansial untuk membayar pajak. Rendahnya partisipasi masyarakat dalam pembayaran PBB, dapat disebabkan oleh banyak faktor antara lain seperti kurang pahamnya masyarakat terhadap arti dari pada pajak bumi dan bangunan, dalam pembiayaan pembangunan, kurangnya bukti nyata dari pajak yang dibayarkan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, kurang giatnya aparat dalam melakukan penagihan dan sikap apatis dari masyarakat itu sendiri dalam membayar pajak.
Selain dari itu, kadang kala wajib pajak sulit dijangkau karena tidak lagi berdomisi di daerah tersebut. Saat ini penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) kurang efektif dibandingkan Pajak daerah lainnya, Pajak daerah lainnya rata-rata sudah terealisasikan dan mencapai target yang telah ditetapkan.
Pengertian dan fungsi Pajak Bumi dan Bangunan menurut Tjahjono dan Muhammad Fakhri (2009:469), pengertian dasar tentang Pajak Bumi dan Bangunan ini dikemukakan di beberapa istilah dalam pembahasan Pajak Bumi dan Bangunan yaitu: (a) Bumi, yang dimaksud dengan bumi dalam Undang-undang No. 12 tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya; (b) Bangunan, yang dimaksud dengan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan untuk tempat tinggal, tempat usaha dan tempat yang diusahakan; (c) Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), yang dimaksud NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli.
Nilai jual objek pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau nilai jual objek pajak pengganti Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak negara yang sebagian besar penerimaannya merupakan pendapatan daerah yang antara lain dipergunakan untuk penyediaan fasilitas yang juga dinikmati oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Oleh karena itu, wajarlah jika pemerintah pusat juga ikut membiayai penyediaan fasilitas tersebut melalui pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan.
Subjek dan objek Pajak Bumi dan Bangunan. Adapun subjek dan objek Pajak Bumi dan Bangunan yaitu: (a) Yang menjadi subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan atau memperoleh manfaat atas bumi, dan atau memiliki, menguasai dan atau memperoleh manfaat atas bangunan. Dengan demikian tanda pembayaran/pelunasan pajak bukan merupakan bukti pemilikan hak.
(b) Subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam poin a yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak; (c) Dalam hal atas suatu objek pajak belum jelas diketahui wajib pajaknya. Direktur Jendral Pajak dapat menetapkan subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam poin a sebagai wajib pajak; (d) Subjek pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud di poin c dapat memberikan keterangan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak bahwa ia bukan wajib pajak terhadap objek pajak dimaksud.
(e) Bila keterangan yang diajukan oleh wajib pajak dalam poin d disetujui, maka Direktur Jenderal Pajak membatalkan penetapan sebagai wajib pajak sebagaimana dalam poin c dalam jangka waktu satu bulan sejak diterimanya surat keterangan tersebut; (f) Jika keterangan yang diajukan itu tidak disetujui, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan surat keputusan penolakan dengan disertai alasan-alasannya.
(g) Apabila setelah jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya keterangan sebagaimana dalam poin d Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan, maka keterangan yang diajukan itu dianggap setuju. Apabila Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan dalam waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya keterangan dari wajib pajak, maka ketetapan sebagai wajib pajak gugur dengan sendirinya dan berhak mendapatkan keputusan pencabutan penetapan sebagai wajib pajak. (***).