Oleh : Surya Meygawati
______________________________________
Kabarpas.com – Jika ada pejabat negara yang tiba-tiba muncul dengan berita penangkapan karena kasus korupsi atau tertangkap tangan menerima suap suatu proyek. Diera saat ini yang katanya era generasi kebanyakan micin, banyak masyarakat sudah tidak kaget dengan pemberitaan tersebut.
Bagi masyarakat yang sudah tidak percaya lagi dengan putih dan sucinya dunia pemerintahan dan perpolitikan tanah air, sudah bukan hal yang mengejutkan mendengar berita seorang Kepala Daerah atau Kepala Dinas atau Wakil Rakyat tertangkap tangan menerima suap, atau melakukan korupsi lainnya. Bagi masyarakat yang sudah lelah dengan janji-janji suci para wakil rakyat, itu bukan berita yang mampu membuat shock therapy.
Sebelum kita menguak makna korupsi di era yang katanya generasi milenial zaman now, ada baiknya kita kembali mundur menguak sejarah korupsi di nusantara kita tercinta ini.
Dikutip dari tulisan Iwan Santosa yang dipublish di Kompas.com, Rezim Orde Baru (1966-1998) merupakan era yang diakhiri dengan tuntutan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menjalar di pusat kekuasaan hingga di daerah. Terkait korupsi yang terus terjadi hingga saat ini, jejaknya ternyata dapat ditemukan jauh di belakang sejarah Indonesia.
Teori mengenai genealogi korupsi di Kepulauan Nusantara memang beragam. Versi paling populer adalah VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie/Kompeni Dagang Hindia Belanda) mengajari masyarakat untuk korupsi di segala bidang. Bahkan, ada ejekan yang menyebut VOC, perusahaan multinasional yang bangkrut pada peralihan abad ke-18 ke abad ke-19 ini, sebagai Vergaan Onder Corruptie (hancur karena korupsi).
Namun, sejarawan alumnus Universitas Indonesia, Hendaru Tri Hanggoro, menyatakan, jejak korupsi di Tanah Air juga dapat dilihat pada zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara. Saat itu, jumlah pajak desa yang harus dibayar sudah digelembungkan para pejabat lokal yang memungut pajak dari rakyat yang masih buta huruf.
Praktik korupsi besar-besaran juga terjadi pada masa tanam paksa. Saat itu disebutkan, petani hanya bisa mendapat 20 persen hasil panennya dan diduga juga hanya 20 persen yang dibawa ke Negeri Induk (Kerajaan Belanda). Selebihnya 60 persen hasil bumi Nusantara diambil pejabat lokal dari desa hingga kabupaten.
Ironi lainnya adalah semasa penjajahan, sejarawan Universitas Paramadina, Hendri F Isnaeni mengatakan, ketika kelompok oposisi dan nasionalis Syarikat Islam (SI) pecah menjadi SI dan SI Merah yang kelak menjadi Partai Komunis Indonesia, terjadi saling tuding korupsi.
Sejarawan Yayasan Nation Building, Didi Kwartanada, menceritakan, salah satu teori genealogi korupsi Indonesia modern berasal dari masa pendudukan militer fasis Jepang.
Didi, mengutip sejarawan National University of Singapore, Syed Hussein Alatas, mengklaim kekuasaan Jepang yang militeristik mempekerjakan aparatur lokal yang berkemampuan rendah dan serakah.
Akibatnya, korupsi, pasar gelap, dan berbagai penyimpangan terjadi secara marak meski jika ketahuan akan dihukum keras pihak Jepang. Akhirnya mereka dan sistem yang sudah rusak itu turut berkuasa pada era Republik Indonesia pasca 1945.
(Bersambug ke part 2)