Probolinggo, Kabarpas.com – Komitmen luar biasa ditunjukkan oleh Kepala Desa Ngadisari Kecamatan Sukapura Sunaryono dan masyarakat Tengger dalam menjaga keselamatan pengunjung Gunung Bromo. Di tengah tingginya angka kecelakaan akibat rem blong sepeda motor matic, mereka mengambil peran aktif sebagai garda terdepan keselamatan di jalur wisata Bromo.
Kepala Desa Ngadisari Sunaryono mengatakan keselamatan wisatawan bukan hanya menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah, melainkan juga tanggung jawab moral masyarakat lokal. Pihaknya bersama para pemuda, karang taruna, pramuka dan para pelopor keselamatan desa bersatu dalam gerakan kolaboratif untuk mencegah penggunaan motor matic ke kawasan Bromo.
“Sudah terlalu sering terjadi kecelakaan karena rem blong motor matic. Kami sebagai tuan rumah merasa berkewajiban untuk melindungi para tamu yang datang ke kawasan Bromo,” ungkapnya.
Langkah konkret yang mereka lakukan antara lain mendirikan pos penyekatan di sekitar Pendopo Desa Ngadisari. Di titik ini, wisatawan dari arah Probolinggo dihentikan dan diberi edukasi mengenai bahaya menggunakan motor matic di jalur curam dan panjang menuju Bromo.
Sebagai alternatif, disediakan kendaraan yang lebih aman seperti Jeep dan sepeda manual yang bisa disewa dengan tarif bervariasi. Tarif menuju Seruni Point berkisar antara Rp 100 ribu hingga Rp 150 ribu per Jeep. Sedangkan menuju Bromo sekitar Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu per Jeep. Warga sepakat untuk terus memusyawarahkan tarif agar tetap ramah bagi wisatawan.
“Ini bukan soal bisnis. Kami hanya ingin Bromo tetap aman dan tidak ada lagi korban jiwa. Kalau ada ide yang lebih baik dari upaya kami, tentu kami terbuka untuk kebaikan bersama,” tambahnya.
Dedikasi ini bukan tanpa tantangan. Wisatawan dari arah Pasuruan dan Malang yang kemudian keluar lewat jalur Probolinggo sering kali luput dari pengawasan. “Namun, warga tetap berinisiatif melakukan teguran langsung dan memberi pemahaman secara persuasif,” terangnya.
Sunaryono menegaskan bahwa usulan larangan penggunaan motor matic ke Bromo perlu diperkuat dengan kebijakan resmi dari Pemerintah Daerah. Selama ini, masyarakat hanya bisa menghimbau. Harapannya ada regulasi yang lebih tegas demi perlindungan menyeluruh.
“Kami di tingkat desa sudah bergerak semampu kami. Tapi untuk langkah yang lebih besar, tentu perlu dukungan dari Pemerintah Kabupaten Probolinggo,” lanjutnya.
Semangat kolaborasi dan kepedulian yang ditunjukkan masyarakat Tengger patut mendapat apresiasi. “Di tengah keterbatasan, kami tidak tinggal diam, tetapi bergerak aktif menjaga keselamatan dan reputasi wisata Gunung Bromo sebagai destinasi unggulan nasional,” pungkasnya. (len/ian).