Menu

Mode Gelap
Wujudkan Mimpi Pebasket Muda Jatim, MPM Honda Jatim Gelar Honda DBL 2023 East Java Series Dukungan Mas Dion Maju Cabup Pasuruan 2024 Kian Masif

Pojokan · 22 Agu 2014 06:43 WIB ·

Rebranding Kota Pasuruan sebagai “the Heart of Culinary”


Rebranding Kota Pasuruan sebagai “the Heart of Culinary” Perbesar

Oleh Dr. Moch. Syarif Hidayatullah (Cendekiawan Pasuruan)

Mengikuti perkembangan Pasuruan dari waktu ke waktu, tentu saja menarik. Betapapun ia kota kecil-sedang dan dinamika yang terjadi tak secepat dan seberagam kota-kota besar, tetap saja ada keasikan tersendiri mencermati sudut-sudut kota ini. Saya sekurang-kurangnya dua kali setahun berkesempatan mengunjungi kota kelahiran saya ini. Biasanya selain mudik lebaran, saya mencari momen libur panjang atau kalau tidak, ya, pas long weekend. Bagi saya, pulang kampung tetap saja mampu menghadirkan ruh baru dalam diri kita dan menyuguhkan banyak sekali serpihan masa kecil di tiap bagian kota ini.

Namun, yang ingin saya bicarakan kali ini bukan soal bagaimana kegiatan saya selama mudik itu. Saya hanya menyebut itu dalam konteks mengisahkan perkembangan yang saya lihat selama saya pulang kampung. Terakhir saya pulang ke Pasuruan, ya, pas libur lebaran kemarin. Terus terang saja tidak banyak yang berubah di wajah kota. Semua berjalan hampir persis sama seperti akhir tahun 2013 ketika saya pulkam. Masjid Jami’, alun-alun, terminal, Bukir-Sebani sebagai pusat mebel, gedong wolu, semua nyaris tak banyak berubah.

Pertanyaannya, betulkah tak ada perkembangan fisik dan nonfisik sama sekali di Pasuruan? Anda akan salah bila menyimpulkan tak ada perkembangan apa-apa di Pasuruan gara-gara penjelasan saya di atas. Secara fisik mungkin tak banyak berubah selain hadirnya rusunawa juga pusat perbelanjaan grosir yang ada di dekat Yon Zipur itu. Namun, secara nonfisik ada banyak hal yang sudah bergeser. Ini terutama terkait dengan nilai dan sikap.

Hadirnya rusunawa itu kemudian menggeser cara pandang masyarakat terkait konsep hunian. Yang semula rela tinggal di gubuk reot dan memanfaatkan lahan kuburan sebagai tempat tinggal, bahkan tanpa tempat MCK yang memadai, sekarang berubah menjadi lebih tertata dan teratur. Tumbuhnya pusat perbelanjaan grosir, juga mengubah sikap masyarakat terhadap pasar tradisional, persis sama dengan yang terjadi di kota-kota lainnya. Pergeseran ke arah produk instan telah terjadi. Bertransaksi pun sudah lebih modern. Sebagian perkembangan ini dapat dikatakan positif, tetapi sebagian lainnya masih memerlukan pengkajian lebih lanjut.

Hal yang menggembirakan dalam pertumbuhan Pasuruan sebagai kota adalah mulai banyaknya tempat kuliner, tempat nongkrong, dan restoran cepat saji lokal. Ini tentu saja akan menjadi sangat positif apabila bisa dikelola dengan lebih terkonsep dan terpusat di kawasan tertentu. Konsep yang ditawarkan juga harus lebih lokal agar tidak sama dengan kota-kota yang lain. Bila ini bisa dikelola dengan baik, tentu akan menjadi daya tarik lain dari kota ini. Pasuruan tidak hanya akan dikenal karena makam Kyai Hamid atau karena produksi mebelnya, tapi juga karena kulinernya yang khas.

Dalam catatan kecil saya, ada beberapa makanan yang memang layak untuk dijadikan sebagai kuliner dan jajanan khas. Sebut saja, misalnya, sate kerang, kupang Kraton, lumpia Pasuruan, beras kencur, jamu benagung, opak gambir, dan mungkin masih banyak lagi yang lainnya. Ini belum memasukkan makanan ringan dan roti yang sudah lebih dulu dikemas secara modern, seperti bipang, tingting jahe, atau roti sisir. Bila ini dikembangkan dengan lebih serius dan terkonsep, pasti akan memberi nilai tambah baru bagi Pasuruan sebagai kota yang sedang tumbuh berkembang.

Kalau Probolinggo saja bisa dikenal sebagai kota mangga dan anggur, Jember dengan Jember Fashion Carnavl, atau Malang dengan apelnya, Sidoarjo dengan tas Tanggulanginnya, maka Pasuruan perlu menentukan produk andalannya. Dengan begitu, Pasuruan akan juga menjadi tempat tujuan belanja kuliner dan jajanan khas. Menurut saya, jajanan Pasuruan tidak kalah khas dan tidak kalah enak dengan di tempat lain. Hanya saja kurang promosi dan kemasannya masih tradisional. Dalam hal ini, langkah yang ditempuh produsen bipang dan tingting jahe di Pasuruan perlu juga diikuti oleh pembuat jajanan tradisional yang ada di Pasuruan. Pemerintah juga harus mendukung dengan membuat kebijakan yang pro pelaku usaha kecil dan menengah (UKM).

Nah, inilah pentingnya rebranding kota Pasuruan. Kota-kota lain telah lebih dulu melakukannya dan terbukti berhasil. Sebagai contoh, Solo dengan brand “the Spirit of Java”, Yogyakarta dengan brand “Never Ending Asia”, atau Pekalongan dengan brand “the City of Batik”. Kalau dulu Pasuruan hanya dikenal dengan Pasuruan Tiba (tertib, indah, bersih, dan aman), maka sudah saatnya jargon itu diubah menjadi brand yang lebih menjual dan berdampak ekonomi bagi Pasuruan. Dengan penjelasan saya di atas, mungkin yang cocok menjadi brand Pasuruan di masa kini adalah “the Heart of Culinary” (pusat kuliner).

Rebranding ini perlu dan mendesak dilakukan, meskipun tentu saja harus didahului dengan pembenahan-pembenahan dan pembuatan kebijakan yang pro pelaku usaha kecil menengah dengan didukung promosi dan sosialisai yang gencar dan massif. Semoga ini segera mendapat perhatian dari Pak Wali, apalagi belum lama ini beliau mendapat penghargaan yang berhubungan dengan usaha kecil dan menengah. Bagaimana, Pak Wali?

 

 

 

Artikel ini telah dibaca 58 kali

Baca Lainnya

Perempuan Lupa Naruh Anak

31 Agustus 2024 - 15:25 WIB

Wujudkan Kurikulum Merdeka sebagai Platform Memperkaya Pengalaman Belajar Siswa

21 Agustus 2024 - 18:27 WIB

Makna Mendekat

20 Juli 2024 - 08:57 WIB

Makna Karunia

12 Juli 2024 - 09:40 WIB

Ancaman Judi Online di Zaman Digital

9 Juli 2024 - 06:25 WIB

Money Politic? Why Not! Honest And Fair Politic? Nonsense!

9 Juni 2024 - 13:09 WIB

Trending di Kabar Terkini