Jember, Kabarpas.com – Pemandian Patemon, salah satu destinasi wisata unggulan Pemkab Jember yang berada di Desa Patemon Kecamatan Tanggul rupanya selama ini berdiri di atas tanah warga tanpa legalitas yang jelas alias tanpa izin.
Hal itu terungkap dari penuturan Renal Shendra Hermawan, kuasa hukum dari ahli waris pemilik tanah tersebut saat berada di ruang Komisi C DPRD Jember dalam agenda rapat dengar pendapat, Senin (19/5/2025).
Di depan Ketua Komisi C Ardi Pujo Prabowo dan para wakil ketua, Renal menceritakan, berdasarkan petok desa tanah tersebut adalah milik Suhak yang meninggal pada tahun 1976. Almarhum diketahui tidak memiliki anak, sehingga tanahnya diwariskan kepada 3 saudara kandungnya.
Ketiga saudara Suhak pun diketahui sudah lama meninggal, dan otomatis anak-anak mereka menjadi ahli waris selanjutnya.
“Saudara kandungnya Hasbullah, Sarbini, Sirat dan ketiganya memiliki keturunan dan dinyatakan dalam surat ahli waris setelah Suhak meninggal,” ucap Renal yang datang bersama 7 ahli waris tanah tersebut.
Meski belum berupa sertifikat, Renal mengklaim memiliki data pendukung seperti petok dan kerawangan dari Desa Patemon.
Kepemilikan tanah tersebut sangat mungkin adalah milik Suhak, sebab pihak Badan Pengelola Keuangan dan Aset (BPKA) Jember pun mengakui tidak memiliki sertifikat objek tersebut.
Diki dari BPKA mengatakan, tanah yang dikelola oleh UPT Dinas Pariwisata Jember itu tidak tercatat sebagai aset Pemda. Hanya, kolam renang yang tercatat sebagai aset namun tanpa dilengkapi surat keabsahan.
Kemungkinan besar Pemkab Jember memang tidak memiliki hak atas objek tersebut sebab, upaya BPKA untuk mensertifikatkan tanah tersebut selalu gagal di tingkat bawah yaitu pemerintahan desa.
Renal menyahut, tentu saja Pemdes Patemon tidak akan berani memberi rekomendasi atas tanah tersebut sebab memang objeknya merupakan milik Suhak.
Renal menyebut, total luasan tanah waris yang dikuasai oleh Pemkab Jember lebih dari,2,7 hektar. Padahal, yang dimiliki oleh Pemkab (sesuai klaim dari BPKA) hanya ada kolam dan sumber mata air estimasinya seluas 7000m².
“Selebihnya itu tanah masyarakat. Dari sisi prinsip keadilan, bagaimana negara ini harus hadir dan justru negara ini melakukan perbuatan melawan hukum puluhan tahun menjajah tanah masyarakat. Mengambil kontribusi dari parkir, karcis dan itu masuk ke negara sampai dengan saat ini,” adunya ke dewan.
Sementara, David Handoko Seto anggota Komisi C meminta BPKA Jember untuk melengkapi data pendukungnya sebagai pembanding bukti yang dimiliki oleh ahli waris.
“Saya belum bisa memastikan ini objek punya siapa. Posisinya (sementara) ini ahli waris pegang petok, dan BPKA mengatakan tercatat di BPKA tapi belum disertifikatkan. Prinsipnya, kami adalah wakil rakyat jadi yang dibela adalah rakyat, kalau rakyat memiliki data otentik kami akan berdiri paling depan untuk memperjuangkan,” tegasnya.
Pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jember yang dimintai pertimbangan tentang status tanah tersebut pun tidak bisa membantu banyak. Sebab, BPN hanya sebagai lembaga pencatat yang berkaitan dengan tanah.
“BPN ini adalah tugasnya mencatat tanah yang sudah bersertifikat, jadi kalau tanah ini belum bersertifikat kami tidak mempunyai data (objek milik siapa). Dalam hal ini BPN tidak bisa memberikan informasi lebih lanjut. Soal tanah petok persil yang belum sertifikat itu bisa ditanyakan ke pihak desa, karena di sana datanya lebih lengkap,” kata Indra dari BPN menjawab pertanyaan Ketua Komisi C Ardi terkait kepemilikan objek di Patemon.
Di tengah kesimpangsiuran data dan saling klaim antara ahli waris dengan pihak Pemkab Jember, Ardi sebagai ketua komisi menyatakan dalam waktu dekat akan mengunjungi lokasi untuk melakukan sidak dan pendataan.
Ardi meminta semua pihak menyiapkan data-data otentik untuk mendukung klaimnya masing-masing.
“Datanya dilengkapi dari BPKA dan Dinas Pariwisata, kita akan turun ke lokasi. Hasilnya kami akan merekomendasikan kepada bupati karena DPRD tidak bisa memutuskan tapi merekomendasikan bahwa ini milik siapa,” tuturnya.
Ardi pun membayangkan berapa kerugian material ahli waris jika dihitung dengan nominal. “Kalau kerugian material ini sudah luar biasa banyak, (dihitung sejak) tahun 1982 menuntut keadilan,” ujarnya.
Ardi berharap masalah tanah tersebut bisa diselesaikan secara kekeluargaan di luar pengadilan dan tidak sampai ke meja hijau. Sebab, akan menguras waktu dan tenaga.
Renal Shendra Hermawan kuasa hukum ahli waris juga berharap perkara tidak sampai ke ranah hukum.
“Sampai saat ini tidak ada peralihan (kepemilikan) makanya desa tidak berani memproses pengajuan sertifikat oleh Pemkab Jember. Dengan data yang kita miliki harapannya tidak sampai masuk ranah hukum gugatan, bisa secara kekeluargaan,” tuturnya.
“Pihak ahli waris selama ini tidak pernah menerima kompensasi dalam bentuk apa pun padahal dana pemandian masuk kas negara. Keinginan kami hak atas objek tanah dikembalikan ke ahli waris seutuhnya tanpa melalui jalur pengadilan atau non litigasi,” harap Renal. (dan/ian).