Menu

Mode Gelap
Wujudkan Mimpi Pebasket Muda Jatim, MPM Honda Jatim Gelar Honda DBL 2023 East Java Series Dukungan Mas Dion Maju Cabup Pasuruan 2024 Kian Masif

Nuansa Ramadan · 31 Mei 2018

Modal Tubuh Sebagai Modal Ekonomi


Modal Tubuh Sebagai Modal Ekonomi Perbesar

Penulis ​: Surtia Ningsih.

Kabarpas.com – Dalam perjalanan tayub di Desa Ngrajek, kondisi hari ini waranggana tidak seutuhnya menjadi simbol dalam ritus kesuburan tersebut. Dikarenakan berada pada era yang berbeda, yakni era modernitas, sehingga pada perjalanan kehidupan berkesenian yang dijalankan oleh waranggana harus dihadapkan pada prinsip kapitalis, yaitu mengenai modal dan untung-rugi, yang nantinya dijadikan komoditas ataupun sebuah industri.

Sejalan dengan pernyataan di atas, kondisi masyarakat Ngrajek tidak lagi menghayati hal tersebut pada penghayatan ritus kesuburan yang menganggap waranggana merupakan perantara kepada dewa. Tetapi rasionalisasi pengetahuan waranggana terhadap nilai komoditi. Hal tersebut sejalan dengan ciri-ciri modernisasi, yakni ditandai oleh pemutusan hubungan secara tegas terhadap nilai-nilai tradisional, berkembangnya sistem ekonomi kapitalisme progresif, rasionalisasi administratif, serta differensiasi sosial dan budaya Feartherstone (Hidayat, 2012: 23). Sementara itu Stuart Hall (Lubis, 2014: 8) mengatakan bahwa masyarakat modern diidentifikasi dalam empat aspek, sebagai berikut.

1. Dominasi bentuk-bentuk otoritas sekuler dan kekuasaan politik yang beroperasi dalam batas-batas teritorial yang telah didefinisikan yang merupakan karakteristik struktur-struktur besar dan rumit dari negara bangsa modern.
2. Ekonomi pertukaran yang moneterisasi dan berdasarkan produksi dan konsumsi berskala besar atas berbagai komoditas bagi pasar serta kepemilikan luas atau properti pribadi dan akumulasi modal dengan basis sistematis dan berjangka panjang.
3. Kemerosotan tatanan sosial tradisional, kesetiaan yang tumpang tindih dan penampilan pembagian pekerjaan secara sosial dan seksual yang dinamis. Dalam masyarakat kapitalis modern, hal ini dicirikan oleh pembentukan-pembentukan kelas sosial baru dan hubungan patriarki yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.
4. Kemerosotan dunia religius dalam masyarakat tradisional serta kebangkitan budaya sekuler dan materialis yang memperlihatkan impuls-impuls individu, rasional, dan instrumental.
Hubungan secara tradisional yang mengalami proses reduksi disebabkan oleh tekanan modernitas.

Hal ini membuat waranggana membaca tubuhnya sebagai pemenuhan hasrat yang harus dicapai. Dalam kaitannya, modal tubuh yang menyertai waranggana mempunyai potensi sebagai media pemenuhan hasrat dalam mencapai tujuan tubuh itu sendiri. Tujuan yang dicapai, yaitu untuk meningkatkan eksistensi dirinya dan membentangkan daya pesonanya dengan kekuatan dan kekuasaan atas tubuhnya sebagai seorang waranggana.

Tubuh sebagai modal diperuntukkan untuk pemenuhan motif ekonomi. Tekanan modernitas yang menyelimuti kehidupan waranggana membuat tubuh seorang waranggana dikoordinasikan secara sadar untuk pemenuhan motif ekonomi. Karena kehidupan akan terus berlanjut dengan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dalam hidup
Selain mengandalkan tubuh dalam pertunjukkan langen tayub, seorang waranggana dituntut mempunyai rupa yang menarik (good looking).

Hal ini terkait dengan sebuah daya pesona yang berfungsi sebagai pemikat dan menjadi sumber kekuasaan atas dirinya dan orang lain. Kecantikan wajah ditambah dengan senyuman dari seorang waranggana merupakan sebuah daya ketertarikan yang mampu menghipnotis dan menyetir para penikmat sajian estetis pertunjukkan langen tayub serta sebagai penunjang waranggana dalam menjalankan eksistensinya.

Kecantikan merupakan bagian dari sistem budaya yang direpresentasikan melalui simbol. Simbol dalam tubuh adalah sesuatu yang disampaikan, sekaligus yang disembunyikan. Karena itu maka dikatakan bahwa tubuh manusia yang awalnya adalah tubuh alami (natural body), kemudian dibentuk menjadi tubuh sosial atau fakta sosial (Abdullah, 2006: 138).

Dalam rangka mendapatkan sebuah kecantikan yang dapat menarik perhatian para penikmat tayub, banyak ritual yang dijalankan oleh seorang waranggana untuk mendapatkan berkat kecantikan, seperti puasa, nyekar di makam tokoh yang berpengaruh dalam kehidupan tayub di Nganjuk Jawa Timur, dan lain-lain. Hal ini terkait dengan banyaknya tawaran menyanyi yang berimplikasi pada semakin sejahtera waranggana dari segi ekonomi.

Seperti yang diungkapkan oleh Whitehead (Raditya, 2014: 108) ada tiga hal yang terkait dengan seni hidup yakni: untuk hidup, untuk hidup dengan baik, dan untuk hidup lebih baik, sehingga semakin cantik seorang waranggana maka semakin banyak tawaran menyanyi dan hal tersebut berimplikasi pada surplus pendapatannya sebagai seorang waranggana.

Kaitannya dengan profesi sebagai seorang waranggana, tubuh waranggana yang merupakan modal utama dalam menjalankan profesinya sebagai penari yang menguasai olah seni suara dan seni tari berimplikasi pada stigma-stigma negatif yang diberikan masyarakat pada seorang waranggana. Banyak stigma-stigma negatif diantaranya, sebagai perempuan simpanan, sebagai perempuan yang tidak berpedidikan, sebagai pekerja seks komersial, dsb. Terkait dengan waktu pertunjukkan langen tayub yang biasanya sampai pagi, menambah pandangan miring terhadap perempuan yang berprofesi sebagai seorang waranggana.

Atraksi lenggak-lenggok ditambah dengan tebaran senyum waranggana dalam tarian yang dibalut dengan pakaian yang ketat menambah ketertarikan pesona waranggana. Dalam melakukan tarian, waranggana biasanya berlagak kenes (lincah dan menawan hati) sehingga pesona tersebut menyihir para penonton yang ingin menari bersama waranggana (ngibing).

Para penonton yang menari bersama dengan waranggana disebut dengan pengibing. Para pengibing umumnya adalah laki-laki. Hal ini banyak membuat kekhawatiran bagi masyarakat khususnya perempuan yang sudah bersuami. Dikarenakan proses mengibing memberikan peluang antara pengibing dan waranggana untuk berdialog secara dekat. Lazimnya, dialog yang dilakukan mulai dari tatapan mata sampai dengan kontak fisik secara langsung. hal tersebutlah yang dapat mengancam keberadaan mereka (perempuan yang sudah bersuami).

Paradoks kapitalisme terhadap perempuan, dalam hal ini waranggana, menjadi sebuah pertanyaan yang menarik untuk semakin dalam mengungkap ruang-ruang tersembunyi, terselubung, dan tak tampak kaitannya dengan realitas kehidupannya. Pada umumnya kehidupan perempuan adalah sebuah misteri yang tidak terpecahkan, kompleks, dan tidak terdefinisi secara universal.

Terlebih lagi ketika posisi perempuan yang dihadapkan pada kepungan modernitas dan di tengah hiruk-pikuk nyanyian kapitalisme masuk dalam sendi-sendi sentral dalam masyarakat, di satu sisi waranggana mengalami tekanan realitas dengan sikap kejam mayarakat yang memberikan citra miring terhadap profesi menjadi seorang waranggana, namun di sisi lain waranggana dengan sikap keterbukaan dan suka rela menyetujui dalam ruang negosiasi bahwa mereka seperti apa yang di asumsikan masyarakat. Sehingga secara tidak disadari ada sebuah arena praktik kuasa yang di dalamnya terdapat kuasa yang terselubung dan ruang tawar menawar dari seorang waranggana dan agen kekuasaan dari dominasi tekanan modernitas.

Sejalan dengan pernyataan di atas, Sendratari (dalam Eriyanto, 2005: 69) mengungkapkan, kekuasaan tidak selalu bekerja melalui penindasan dan represi, tetapi melalui normalisasi dan regulasi. Khalayak ditundukkan bukan dengan cara kontrol yang bersifat langsung dan fisik, tetapi dengan wacana dan mekanisme, berupa prosedur, aturan, tata cara, dan sebagainya, sehingga melalui strategi ini bukan lagi tubuh fisik yang disentuh kuasa, melainkan jiwa, pikiran, kesadaran, dan kehendak individu, yang mampu menangkap tanda-tanda di dalam tubuh masyarakat.

Wacana tubuh waranggana dalam konteks kekinian merupakan tubuh waranggana dalam opresi kapitalis, kekuasaan yang bekerja dalam tubuh waranggana dikuasai oleh dirinya sebagai pemilik tubuh dan relasi-relasi yang bekerja dalam pertunjukkan langen tayub. Menjadi pertanyaan menarik yakni, kekuasaan yang seperti apakah yang mempolitisasi tubuh waranggana sehingga menjadi sebuah ekonomisasi bagi tubuh itu sendiri.
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, dapat diidentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut.

​Pertama, waranggana dalam pertunjukkan Langen Tayub mempunyai peran sebagai pelaku utama di Desa Ngrajek Sambirejo Nganjuk Jawa Timur, yang pada masa dahulu merupakan simbol ritus kesuburan dan pembawa keberkahan bagi masyarakat sekitar, sehingga kehadiran seorang waranggana berimplikasi pada sejahteranya warga sekitar karena di dalamnya selalu mengalir keberkahan yang diamini oleh masyarakat sekitar, tetapi terlepas dari hal tersebut, bahwasanya selalu dibangun hubungan kontradiktif ketika ada persetujuan maka didalamnya terkandung ketidaksetujuan, dari sisi yang lain waranggana dijadikan objek eksploitasi dalam budaya patriarki.

Hal ini terlihat dari perilaku yang agak kurang mnyenangkan dari pengibing terhadap waranggana. Dari fenomena yang terjadi, mau tidak mau waranggana mendapatkan stereotip negatif akan citra miring yang selalu mengcover tubuh seorang waranggana.

​Kedua, waranggana dalam konteks kekinian merupakan waranggana yang hidup dalam perayaan modernitas, tentu berbeda dengan waranggana yang hidup pada masa lalu, ritual bersih desa yang selalu dilakukan warga Ngrajek, Nganjuk Jawa Timur pada Jum’at Pahing bulan besar dalam kalender Jawa tentu mengalami transformasi makna, bagaimana mereka memahami dan menghayati secara religius berbeda dalam konteks kekinian yakni adanya negosiasi terhadap diri sendiri yang memberikan definisi identitas oleh waranggana sendiri, yang pada dasarnya hidup di era modernitas dengan tolak ukur yang bersifat materialisme, terlepas dari nilai, dan mengedepankan sebuah hasil yang instant, sehingga pemaknaan waranggana bukan pada wilayah religiusitas, tetapi pada tingkat materialis.

Ketiga, eksistensi waranggana sebagai aktor utama dalam pertunjukkan Langen Tayub merupakan sebuah modal yang tidak dimaknai secara sempit, tubuh waranggana dapat dimaknai sebagai modal budaya, modal ideologi, sebuah relasi sosial yang di dalamnya terdapat nuansa keakraban dan guyub masyarakat, oleh karena itu dapat dibangun suatu makna baru dari sebuah penafsiran yang bijak dan arif sebagai suatu alat ketahanan budaya bagi seniman, masyarakat, maupun pemerintah dalam rangka menghadapi konstelasi global.

__________________________

*Rubrik khusus “Dunia Santri Community” ini akan tayang selama bulan suci Ramadan. Semua artikel yang tayang dalam rubrik ini, merupakan tulisan para santri – santri pilihan yang kece dan inspiratif, yang berasal dari berbagai pesantren di Indonesia.

Artikel ini telah dibaca 39 kali

Baca Lainnya

Ini Tips dari MPM Agar Aman Saat Berkendara di Bulan Suci Ramadan 

3 Mei 2021 - 10:27

Ansor Probolinggo Berbagi Kebahagiaan dengan Dhuafa di Bulan Ramadan

31 Mei 2019 - 20:48

Melihat Tradisi Sorban Keliling, Simbol Kebersamaan dan Kerukunan Beragama Suku Tengger Bromo

27 Mei 2019 - 09:45

Juventini Pasuruan Gelar Bukber dan Santunan Anak Yatim

27 Mei 2019 - 03:45

Ini 5 Buah yang Cocok Untuk Dikonsumsi Selama Ramadan

21 Mei 2019 - 10:36

Gelar Tadarus Digital, Cyber NU Pasuruan Siap Jadi Pelopor Pemberi Informasi Positif 

17 Mei 2019 - 23:45

Trending di Berita Pasuruan