Oleh: Gus Haidar Hafeez, Presiden Rumah Sastra
KABARPAS.COM – TERBAYANG di kejauhan annuqayah menyapa muktamirin. Santri hilir mudik menjalani keseharian. Ngaji dan terus ngaji jarum jam berputar di pesantren. Gilir ngaji sesuai jadwal ngaji adalah santri berlama lama di pondok. Guluk Guluk tanah tandus behutan jati tumbuh subur sastra pesantren. Tumbuh seribu tumbuh terus beribu ribu. Adalah santri membawa tradisi sastra pesantren ke daerah asal santri. Entah sastra lisan entah sastra tulisan, santri setia membawanya kemana pergi. Guluk Guluk tanah tua berpenghuni ilmu. Mengakar menembus batu kapur membentang tanah tandus. Gukluk Guluk wanginya wangi sastra mencipta santri bersastra. Santri bersastra turun temurun melahirkan sastra pesantren. Jauh sebelum Indonesia merdeka jauh sebelum Indonesia ada, jauh sebelum sastra Indonesia ada. Sastra Indonesia ada setelah Indonesia lahir dan tumbuh dewasa menjadi negara berdaulat atas tanah air atas bangsa atas bahasa. Para santri sudah diajari kiyai tentang sastra membacanya dengan sastra. Santri diajari kiyai hukum agama membacanya dengan sastra. santri diajari kiyai ilmu bercocok tanam membacanya dengan sastra. Jangan heran bila sana sini, tiba tiba abra kadabra santri pada sebuah pondok yang tidak di kenal dengan lebel sastra. Seakan kun fayakun muncul penyair atau sejenisnya. Sebab pondok mengajari apa saja pada santri jalannya jalan sastra. Apa yang di bicarakan pada sastra Indonesia, yang notabene terjemahan dari sastra Eropah, juga dibicarakan pada sastra pesantren. Kitab kitab sastra yang menjadi ugeman santri adalah kitab sastra Arab. Namun sana sisni telah mengalami modifikasi demi naskah berhurup hijaiyah dan berbahasa Arab mudah di baca dengan jalan sastra.
.
Adalah salah besar beranggapan sastra pesantren itu kizib. Adalah bohong besar mengatakan sastra pesantren hanyalah kerpean dari sastra Indonesia. Jauh sebelum Indonesia ada para santri mengenal mubtada adalah utawi dari kiyai. Kiyai dari gurunya, gurunya dari guru hingga sampailah pada maha guru kiyai Nawawi Al Bantani. Dialah peletak pondasi sastra pesantren Jawa adalah bahasa utama sebab saat itu pesantren dominan di Jawa. Inilah cerdik pandainya kiyai kiyai pesantren mengajari kitab dengan menggunakan irob Jawa dengan mubtada adalah utawi hobar adalah iku fail adalah opo dan masih banyak lainnya. Kiyai Nawawi Al Bantani yang kemudian hidup dan wafat di Makkah adalah Sayidina Ali nya tanah Jawa. Berbekal kehawatian akan semakin tidak menariknya membaca Qur’an bin nahwi bagi umat ajam tanah Jawa. Maka di rumuskan cara membaca Qur’an bin nahwi bi irobiljawi.
.
Sastra pesantren ini ada jauh sebelum Indonesia dan bahkan jauh sebelum sumpah pemuda. Sastra pesantren sama seperti sastra yang lain demi Indonesia. Melepas kebanggaan dan menjunjung tinggi bahasa satu Indonesia bersastra satu Indonesia. Sedang tradisi bersastra di pesantren dengan sastra pesantren masih ada dan terjaga. Nampak jelas pada pondok pondok manapun yang turunan dari pundok pondok asli tumbuh di Indonesia. Membaca apapun bacanya dengan sastra dengan irob Jawa. Ini alasan Muksas ll dan seterusnya adalah penting. Agar tradisi lisan dan taradisi tulisan sastra pesantren tidak pudar di telan zaman. Buku buku pegon adalah naskah orsinil yang hingga hari ini masih ditradisikan ngaji apapun di baca kiyai dengan sastra pesantren di maknani santri dengan menggunakan irob Jawa bertuliskan pegon. Satra pesantren jalan panjang yang tak pernah usai. (***).
_________________________________________________
*Setiap Minggu Kabarpas.com memuat rubrik khusus “Nyastra”. Bagi Anda yang memiliki karya sastra, baik berupa cerita bersambung (cerbung), cerpen maupun puisi. Bisa dikirim langsung ke email kami: redaksikabarpas@gmail.com.