Menu

Mode Gelap
Wujudkan Mimpi Pebasket Muda Jatim, MPM Honda Jatim Gelar Honda DBL 2023 East Java Series Dukungan Mas Dion Maju Cabup Pasuruan 2024 Kian Masif

Pojokan · 10 Apr 2020

Belajar dari Arundhati Roy Bagaimana Terjadi Kekacauan di India Menghadapi Covid-19


Belajar dari Arundhati Roy Bagaimana Terjadi Kekacauan di India Menghadapi Covid-19 Perbesar

Oleh : Raylis Sumitra

 

 

KABARPAS.COM – SELESAI membaca tuntas tulisan Arundhati Roy, seorang novelis dan aktivis India. Saya langsung bernafas panjang. Dalam hati, saya mengucap syukur. Negeriku Indonesia separah India dalam menghadapi sebaran pendemik virus corona (covid-19)

Dalam tulisan yang diterjamahkan Hikmat Gumelar, Arundhati Roy, menuliskan bagaiamana India menghadapi serangan Covid-19. Tulisan yang terbit di Finacial Times, 4 April lalu, Arundhanti mengambar situasi negaranya yang jauh dari kesiapaan. Dan diperburuk situasi politik dan ekonomi yang penuh diskriminasi.

Sebenarnya, tulisan Arundathi ini tidak hanya membahas negaranya saja. Melainkan situasi yang terjadi di Amerika Serikat. Ia mengambarkan bagaimana Amerika yang terpontang-panting menghadapi serangan mahkluk tak kasat mata ini.

Begini Arundhathi mengambarkan situasi di Amerika. Malam demi malam, dari belahan dunia, beberapa dari kita menonton briefing pers gubernur New York dengan pesona yang sulit dijelaskan. Kita mengikuti statistik, dan mendengar kisah rumah sakit yang kewalahan di AS, tentang perawat yang dibayar terlalu rendah dan bekerja terlalu keras harus membuat masker dari tempat sampah dan jas hujan tua, mempertaruhkan segalanya untuk membawa bantuan kepada orang sakit. Tentang negara-negara yang dipaksa menawar satu sama lain untuk ventilator, tentang dilema dokter tentang pasien mana yang harus mendapatkan satu dan yang tersisa untuk mati. Dan kita berpikir, “Ya Tuhan! Ini Amerika!

Secuil paparan kondisi Amerika ini, sengaja saya kutip. Untuk menjelaskan bagaiamana suasana kebathinan Arudhathi merefleksikan kondisi kepanikan AS. Yang notabene negara adi kuasa dalam menghadapi Covid-19. Makanya diahkir paragraf diatas, Arudhathi memulai menuangkan tulisan tentang negaranya dalam menghadapi Covid -19.

Saya pun mencoba ber-empaty pada suasana kebathinan Arundhati. Kalau se-kelas Amerika saja seperti itu kepanikannya. Gimana kalau India, negaranya ?

Dalam tulisan itu, Arundhati memulai dengan kronologis Covid-19 di India. Kasus pertama Covid-19 dilaporkan di India pada 30 Januari, hanya beberapa hari setelah kepala tamu kehormatan Parade Hari Republik kita, pemakan hutan Amazon dan Covid-denier Jair Bolsonaro , telah meninggalkan Delhi. Tapi ada terlalu banyak yang harus dilakukan pada Februari agar virus tak bisa ditampung dalam jadwal partai yang berkuasa. Ada kunjungan resmi Presiden Donald Trump yang dijadwalkan untuk minggu terakhir setiap bulan. Dia telah dibujuk oleh janji audiensi 1 juta orang di stadion olahraga di negara bagian Gujarat. Semua itu butuh uang dan banyak waktu.

Kemudian ada pemilihan Majelis Delhi di mana Partai Bharatiya Janata dijadwalkan akan kalah kecuali jika itu meningkatkan permainannya, yang dilakukannya, melepaskan kampanye nasionalis Hindu yang kejam, tanpa batas, dipenuhi ancaman kekerasan fisik dan penembakan “pengkhianat ”.

Pada dua paragraf diatas, apa yang ditulis Arundhati sama dengan ketakutan saya dengan kondisi ditanah air. Siapa yang tidak kenal Jair Bosonaro Presiden Brasil. Yang dikalangan media barat disebut dengan Donald Trumpnya Amerika Selatan.

Bosonaro yang diduga terlibat dalam pembakaran hutan Amazon itu. Memenangkan Pemilihan Presiden Brazil 2018, dengan mengunakan politik kebencian dan hoaks. Strategi yang sama dilakukan Donald Trump dalam pilpres AS.

Namun, Arundanthi tidak menjelaskan paragraf yang menerangkan kedatangan Jair Bosonaro dan rencana kedatangan Donald Trump. Dengan kejadian penyerangan kelompok muslim India. Ia hanya menuliskan pemilihan Majelis Delhi. Dimana Partai Bharatiya akan kalah apabila tidak memainkan isu rasialis.

Arundanthi dalam tulisan itu, langsung menjelaskan situasi penyerangan etnis muslim efek dari kampanye tersebut.

Gerombolan bersenjata vigilante Hindu, yang didukung polisi, menyerang Muslim di lingkungan kelas pekerja di Delhi timur laut. Rumah, toko, masjid dan sekolah dibakar. Umat Muslim yang mengharap serangan itu membalas. Lebih dari 50 orang, Muslim dan beberapa Hindu, tewas.

Ribuan orang pindah ke kamp-kamp pengungsi di kuburan setempat. Mayat-mayat yang dimutilasi masih ditarik keluar dari jaringan saluran yang kotor dan berbau busuk ketika pejabat pemerintah mengadakan pertemuan pertama mereka tentang Covid-19 dan kebanyakan orang India mulai mendengar tentang keberadaan sesuatu yang disebut sanitiser tangan.

Ditengah situasi duka efek dari kampanye politik yang berbau rasialis itulah. Virus corona mulai mewabah.

Agar utuh memahami situasi India yang ditulis Arundanthi. Saya menyajikan tulisannya sesuai dengan naskah yang saya peroleh.

Akhirnya, pada 19 Maret, perdana menteri India berbicara kepada bangsa. Ia tak melakukan banyak pekerjaan rumah. Ia meminjam buku pedoman itu dari Prancis dan Italia. Ia memberi tahu kami tentang perlunya “jarak sosial” (mudah dipahami bagi masyarakat yang begitu kental dalam praktik kasta) dan menyerukan satu hari “jam malam rakyat” pada 22 Maret. Ia tidak mengatakan apa-apa tentang apa yang akan dilakukan pemerintahnya dalam krisis, tapi ia meminta orang untuk keluar di balkon mereka, dan membunyikan bel dan memukul panci dan wajan mereka untuk memberi hormat kepada petugas kesehatan.

Dia tidak menyebutkan bahwa, sampai saat itu, India telah mengekspor alat pelindung dan peralatan pernapasan, alih-alih menyimpannya untuk petugas kesehatan dan rumah sakit India.

Tidak mengherankan, permintaan Narendra Modi disambut sangat antusias. Ada pawai pot-banging, tarian dan prosesi komunitas. Tak banyak jarak sosial. Pada hari-hari berikutnya, para lelaki melompat ke tong kotoran sapi suci, dan para pendukung BJP mengadakan pesta minum air seni. Tidak mau kalah, banyak organisasi Muslim menyatakan bahwa Yang Mahakuasa adalah jawaban untuk virus dan menyerukan umat untuk berkumpul di masjid dalam jumlah.

Pada 24 Maret, jam 8 malam, Modi muncul lagi di TV untuk mengumumkan, mulai tengah malam dan seterusnya, seluruh India akan dikunci . Pasar akan ditutup. Semua transportasi, publik maupun pribadi, akan dilarang.

Ia mengatakan ia mengambil keputusan ini tak hanya sebagai perdana menteri, tapi sebagai penatua keluarga kami. Siapa lagi yang bisa memutuskan, tanpa berkonsultasi dengan pemerintah negara bagian yang harus berurusan dengan kejatuhan keputusan ini, bahwa negara dengan penduduk 1,38 miliar harus dikunci tanpa persiapan dan dengan pemberitahuan empat jam? Metode-metodenya jelas memberi kesan bahwa perdana menteri India menganggap warga sebagai kekuatan bermusuhan yang perlu disergap, terkejut, tetapi tidak pernah dipercaya.

Terkuncilah kami. Banyak profesional kesehatan dan ahli epidemiologi memuji langkah ini. Mungkin secara teori mereka benar. Tetapi tentu saja tidak ada dari mereka yang bisa mendukung kurangnya perencanaan atau kesiapsiagaan bencana yang mengubah kuncian terbesar, paling menghukum di dunia menjadi kebalikan dari apa yang seharusnya dicapai.

Pria yang mencintai kacamata menciptakan ibu dari semua kacamata.

Ketika dunia yang ngeri menyaksikan, India mengungkapkan dirinya dalam semua rasa malunya – ketidaksetaraannya yang brutal, struktural, sosial dan ekonomi, ketidakpeduliannya terhadap penderitaan.

Kuncian bekerja seperti percobaan kimia yang tiba-tiba menyinari hal-hal tersembunyi. Ketika toko-toko, restoran, pabrik dan industri konstruksi ditutup, ketika orang-orang kaya dan kelas menengah mengurung diri mereka dalam koloni yang terjaga keamanannya, kota-kota dan kota-kota besar kami mulai mengusir warga kelas pekerja – pekerja migran mereka – seperti akrual yang tidak diinginkan.

Banyak yang diusir oleh majikan dan tuan tanah mereka, jutaan orang miskin, lapar, haus, muda dan tua, laki-laki, perempuan, anak-anak, orang sakit, orang buta, orang cacat, dipaksa untuk pergi ke tempat lain,, tanpa transportasi umum yang terlihat, memulai perjalanan panjang ke kampung halaman mereka. Mereka berjalan berhari-hari, menuju Badaun, Agra, Azamgarh, Aligarh, Lucknow, Gorakhpur – ratusan kilometer jauhnya. Beberapa meninggal dalam perjalanan.

Mereka tahu bahwa mereka akan pulang ke rumah berpotensi memperlambat kelaparan. Mungkin mereka bahkan tahu bahwa mereka mungkin membawa virus, dan akan menginfeksi keluarga mereka, orang tua dan kakek-nenek mereka di rumah, tetapi mereka sangat membutuhkan sedikit saja keakraban, perlindungan dan martabat, serta makanan, jika bukan cinta.

Ketika mereka berjalan, beberapa dipukuli secara brutal dan dihina oleh polisi, yang dituduh ketat memberlakukan jam malam. Para pemuda dipaksa berjongkok dan melompat katak di jalan raya. Di luar kota Bareilly, satu kelompok digiring bersama dan disemprot dengan semprotan kimia.

Beberapa hari kemudian, khawatir populasi yang melarikan diri akan menyebarkan virus ke desa-desa, pemerintah menyegel perbatasan negara bahkan untuk pejalan kaki. Orang-orang yang telah berjalan berhari-hari dihentikan dan dipaksa untuk kembali ke kamp-kamp di kota-kota yang baru saja mereka tinggalkan.

Di antara orang yang lebih tua, itu membangkitkan ingatan tentang perpindahan penduduk tahun 1947, ketika India terpecah dan Pakistan lahir. Kecuali bahwa eksodus saat ini didorong perpecahan kelas, bukan agama. Meski begitu, ini bukan orang-orang termiskin di India. Mereka orang-orang yang (setidaknya sampai sekarang) bekerja di kota dan rumah untuk kembali. Para pengangguran, para tunawisma dan yang putus asa tetap di tempat mereka berada, di kota-kota atau di pedesaan, di mana kesesakan yang dalam tumbuh jauh sebelum tragedi ini terjadi. Sepanjang hari-hari yang mengerikan ini, menteri dalam negeri Amit Shah tetap absen dari pandangan publik.

Ketika perjalanan dimulai di Delhi, saya menggunakan kartu pers dari sebuah majalah di mana sering saya menulis untuk mengemudi ke Ghazipur, di perbatasan antara Delhi dan Uttar Pradesh.

Adegan itu alkitabiah. Atau mungkin juga tidak. Alkitab tak mungkin mengetahui angka-angka seperti ini. Penguncian untuk menegakkan jarak fisik telah menghasilkan sebaliknya – kompresi fisik pada skala yang tidak terpikirkan. Ini benar bahkan di dalam kota-kota di India. Jalan-jalan utama mungkin kosong, tetapi orang miskin disegel ke tempat-tempat sempit di daerah kumuh dan gubuk.

Setiap orang berjalan yang kuajak bicara khawatir tentang virus. Tapi itu kurang nyata, kurang hadir dalam kehidupan mereka daripada pengangguran, kelaparan dan kekerasan polisi menjulang. Dari semua orang yang kuajak bicara hari itu, termasuk sekelompok penjahit Muslim yang baru beberapa minggu lalu selamat dari serangan anti-Muslim, kata-kata seorang pria amat menggangguku. Ia seorang tukang kayu bernama Ramjeet, yang berencana untuk berjalan jauh ke Gorakhpur dekat perbatasan Nepal.

“Mungkin ketika Modiji memutuskan untuk melakukan ini, tidak ada yang memberitahunya tentang kami. Mungkin dia tidak tahu tentang kami, ”katanya.

“Kami” berarti sekitar 460 juta orang.

Pemerintah negara bagian di India (seperti di AS) telah menunjukkan lebih banyak hati dan pengertian dalam krisis. Serikat pekerja, warga negara dan kolektif lainnya mendistribusikan jatah makanan dan darurat. Pemerintah pusat lamban dalam menanggapi permintaan dana mereka yang putus asa. Ternyata Dana Bantuan Nasional perdana menteri tidak punya uang tunai. Alih-alih, uang dari simpatisan mengalir ke dana PM-CARES baru yang agak misterius. Makanan pra-paket dengan wajah Modi sudah mulai muncul.

Selain itu, perdana menteri telah membagikan video-video yoga nidra-nya, di mana seorang Modi yang bermetamorfosis bermimpi mendemonstrasikan yoga asana untuk membantu orang mengatasi tekanan isolasi diri.

Narsisme amat meresahkan. Mungkin salah satu asana bisa menjadi request-asana di mana Modi meminta perdana menteri Prancis untuk mengizinkan kita mengingkari kesepakatan jet tempur Rafale yang amat menyusahkan dan menggunakan € 7,8 miliar untuk tindakan darurat yang amat dibutuhkan untuk mendukung beberapa juta orang yang kelaparan. Tentu orang Prancis akan mengerti.

Ketika kuncian memasuki minggu kedua, rantai pasokan telah rusak , obat-obatan dan persediaan penting hampir habis. Ribuan pengemudi truk masih terdampar di jalan raya, dengan sedikit makanan dan air. Tanaman berdiri, siap dipanen, perlahan membusuk.

Krisis ekonomi ada di sini. Krisis politik sedang berlangsung. Media arus utama telah memasukkan kisah Covid ke dalam kampanye anti-Muslim beracun 24/7. Sebuah organisasi bernama Jamaah Tabligh, yang mengadakan pertemuan di Delhi sebelum penguncian diumumkan, ternyata menjadi “penyebar super”. Itu digunakan untuk menstigmatisasi dan menjelekkan umat Islam. Nada keseluruhan menunjukkan bahwa Muslim menciptakan virus dan sengaja menyebarkannya sebagai bentuk jihad.

Krisis Covid masih akan datang. Atau tidak. Kita tidak tahu. Jika dan ketika itu terjadi, kita bisa yakin itu akan ditangani, dengan semua prasangka agama, kasta dan kelas yang berlaku sepenuhnya ada di tempatnya.

Hari ini (2 April) di India, ada hampir 2.000 kasus yang dikonfirmasi dan 58 kematian. Ini pasti angka yang tidak bisa diandalkan, berdasarkan beberapa tes menyedihkan. Pendapat ahli amat bervariasi. Beberapa memprediksi jutaan kasus. Yang lain berpikir jumlah korban akan jauh lebih sedikit. Kita mungkin tidak pernah tahu kontur nyata dari krisis, bahkan ketika itu mengenai kita. Yang kita tahu adalah bahwa pelarian di rumah sakit belum dimulai.

Rumah sakit dan klinik umum India – yang tidak mampu mengatasi hampir 1 juta anak yang meninggal karena diare, kekurangan gizi, dan masalah kesehatan lainnya setiap tahun, dengan ratusan ribu pasien tuberkulosis (seperempat dari kasus dunia), dengan anemia yang luas dan populasi yang kurang gizi rentan terhadap sejumlah penyakit ringan yang terbukti berakibat fatal bagi mereka – tidak akan mampu mengatasi krisis seperti yang dihadapi Eropa dan AS sekarang.

Semua layanan kesehatan lebih atau kurang ditahan karena rumah sakit telah dialihkan ke layanan virus. Pusat trauma dari Institut Ilmu Kedokteran All India yang legendaris di Delhi ditutup, ratusan pasien kanker yang dikenal sebagai pengungsi kanker yang tinggal di jalan-jalan di luar rumah sakit besar diusir seperti sapi.

Orang akan jatuh sakit dan mati di rumah. Kita mungkin tidak pernah tahu kisah mereka. Mereka bahkan mungkin tak menjadi statistik. Kita hanya bisa berharap penelitian yang mengatakan virus menyukai cuaca dingin adalah benar (meski peneliti lain telah meragukan hal ini). Tidak pernah ada orang yang merindukan secara irasional dan berlebihan untuk musim panas India yang menghukum.

Hal apa yang terjadi pada kita? Itu virus, ya. Dalam dan dari dirinya sendiri tidak ada penjelasan moral. Tapi ini jelas lebih dari sekadar virus. Beberapa percaya itu adalah cara Tuhan membawa kita ke akal sehat kita. Lainnya bahwa ini adalah konspirasi Tiongkok untuk mengambil alih dunia.

Apa pun itu, virus corona telah membuat lutut yang kuat dan membuat dunia terhenti seperti tidak bisa dilakukan oleh yang lain. Pikiran kita masih berpacu bolak-balik, merindukan kembalinya ke “normalitas”, mencoba menjahit masa depan kita ke masa lalu kita dan menolak untuk mengakui kehancuran. Tapi pecah itu ada. Dan di tengah keputusasaan yang mengerikan ini, ia memberi kita kesempatan untuk memikirkan kembali mesin kiamat yang telah kita bangun untuk diri kita sendiri. Tidak ada yang lebih buruk dari kembali ke normalitas.

Secara historis, pandemi telah memaksa manusia untuk memutuskan masa lalu dan membayangkan dunia mereka kembali. Yang ini tidak berbeda. Ini adalah portal, gerbang antara satu dunia dan yang berikutnya.

Kita bisa memilih untuk berjalan melaluinya, menyeret bangkai prasangka dan kebencian kita, ketamakan kita, bank data kita dan ide-ide mati, sungai-sungai mati kita dan langit berasap di belakang kita. Atau kita bisa berjalan ringan, dengan sedikit barang bawaan, siap membayangkan dunia lain. Dan siap berjuang untuk itu. (***).

Artikel ini telah dibaca 51 kali

Baca Lainnya

Menjadi Pahlawan Tanpa Jubah

14 Juni 2025 - 17:52

Bermain itu Fitrah Manusia

13 Juni 2025 - 09:47

Yuk, Cerdas dalam Bersosmed!

10 Juni 2025 - 15:57

Ternyata Idul Adha Sekeren Ini

6 Juni 2025 - 09:23

Bumi Cuma Satu, Kalo Rusak Mau Selfie Dimana?

5 Juni 2025 - 12:12

Bersepeda Bukan Sekedar Gaya

3 Juni 2025 - 23:28

Trending di Pojokan