Oleh : Abdur Rozaq, Cerpenis Pasuruan
(Kabarpas.com) – HIDUP ini memang tragedi! Dan dunia ini, adalah alam paling mengerikan yang pernah disinggahi manusia. Jangan kau kira ahirat adalah alam maha mengerikan. Sebab segala kengerian yang akan kita alami di ahirat, adalah akibat dari marabahaya yang kita alami di alam dunia ini. Bayi-bayi menjerit bagitu dilahirkan. Itu adalah nestapa yang mereka ratapi karena harus mematuhi titah Tuhan untuk terlahir dan menghadapi segenap macam kebuasan di alam ini.
Bayi dalam kresek di tepi sungai itu menyapa Gus Hasyim dalam keheningan. Tanpa sepengetahuan siapa pun.
“Doakan saya, gus. Semoga Gusti Allah memberi saya ketabahan,” ujarnya dalam bahasa tanpa kata.
“Kau ini siapa, Le? Ibumu siapa?”
“Panjenengan tak perlu tahu siapa saya. Apalagi siapa ibu dan bapak saya. Bahkan di hulu sungai mana saya dilemparkan, panjengangan tak perlu tahu. Sebab ini belum hari perhitungan,” katanya.
“Tapi ini melanggar hukum Tuhan, Le.”
“Benar, gus. Tapi, bukankah Gusti Allah adalah Dzat yang Maha Menutupi aib?” Gus Hasyim bungkam.
“Saya adalah salah satu orok yang tak diharapkan, gus. Ibu membungkus saya dalam tas kresek, melempar saya ke sungai, mungkin karena ibu ingin menutup aib.”
“Saya mengapung di antara sampah-sampah, mengikuti arus air lalu terdampar di desa Slambrit ini. Biawak, yuyu dan ikan-ikan mematuki kepala saya. Tangan saya terlepas karena sudah membusuk dan tersangkut bebatuan dan kayu di sepanjang sungai.”
“Apa kau marah terhadap ibumu?”
“Tidak, gus. Bagaimana pun ia adalah ibu saya. Saya tidak ada urusan dengan ibu, meski ia ada perhitungan dengan Gusti Allah. Saya bahkan merasa berterima kasih karena ibu tak membiarkan saya tumbuh. Seandainya ibu meninggalkan saya dalam kardus, di sebuah teras musalla atau trotoar, saya pasti masih hidup. Saya masih akan merasakan kekejian dunia yang tiada belas kasih itu. Saya beruntung karena tidak seperti teman-teman yang ditaruh ibunya di teras rumah seseorang, ditinggalkan di rumah sakit atau dijual. Saya tak menolak titah Tuhan untuk dibentuk menjadi orok, terlahir dan merasakan panasnya hawa dunia, sekaligus tak harus mejadi manusia dewasa yang seringkali ingkar janji kepada Gusti Allah. Semestinya ini kan perlu disyukuri, gus?”
“Biarlah saya menjadi tumbal keruhnya zaman. Manusia membikin sinetron percintaan, para biduan menyanyikan dan memperagakan kemesuman, bocah-bocah berani memperagakan kemesuman, orang membikin situs mesum dan coba-coba mencontoh apa yang mereka tonton. Meski saya terlahir dari syahwat sesaat, setidaknya saya sudah selamat sebagaimana Nabi Musa yang dibuang ke sungai Nil oleh ibundanya. Saya diselamatkan oleh ibu agar tak menjadi manusia dewasa yang bisa jadi, terseret drama zaman untuk melakukan seperti apa yang ibu dan bapak lakukan. Saya adalah ayat Tuhan yang menjadi peringatan siapa saja agar berhati-hati dengan muslihat syahwat. Saya adalah utusan Tuhan, bertugas menyampaikan I’tibar kepada siapa saja yang datang ke bibir sungai dan mengangkat jasad saya. Saya tak mati sia-sia. Saya mati dalam misi menyampaikan peringatan serta teguran.”
“Saya juga menang karena dengan terlahir, di sorga sudah tersensus nama saya. Tak apalah sekedar menjadi wildaanun mukholladun, para pelayan sorga yang membawa baki minuman raja-raja taman Firdaus. Sebab jika saya tak terlahir, nama saya takkan pernah tercatat di sana. Dan andai saya selamat hingga tumbuh menjadi manusia dewasa, belum tentu saya selamat. Pilihan ibu dan bapak untuk membungkus saya dalam kresek dan melempar ke sungai adalah pilihan paling menguntungkan bagi saya. Nama saya terdaftar di sorga, tapi aman dari fitnah dunia yang bisa jadi membuat saya tersesat tak bisa kembali kepada Gusti Allah.”
Gus Hasyim terdiam di antara riuh manusia yang memenuhi bantaran sungai. Benar juga ucapa si Tole dalam tas kresek hitam itu. Namun manusia, kenapa semakin kehilangan fitrah serta jati dirinya? Batin Gus Hasyim dalam hening. (***).