Oleh : Hannauzah
KABARPAS.COM – ARVIN sadar dari pingsannya setelah dikeroyok oleh preman di dekat kampus. Dia merasa heran karena sudah berada di klinik.
“A-Arlie..,” kata Arvin setelah melihat Arlie duduk di sampingnya.
“Iya apa Vin?”
“Siapa yang bawa saya?”
“Saya,” jawab Arlie singkat.
“Terima kasih Arlie, kamu baik banget.”
“Sama-sama.”
Arvin dan Arlie pun berpisah setelah Arlie mengantar Arvin sampai di rumahnya.
Keesokan harinya di kampus, Arvin bertemu Arlie di kelas sebelum pelajaran dimulai.
“Hai, Arlie!” sapa Arvin lebih dulu.
“Hai,” jawab Arlie singkat.
“Makasih ya yang kemarin.”
“Iya sama-sama,” jawab Arlie kembali ke nada semula, nada jutek.
“Ternyata kamu baik, nggak seperti bayangan saya.”
“Saya kasihan sama kamu. Jadi saya bawa kamu ke klinik.”
Arvin kemudian diam sejenak, tidak melanjutkan pembicaraan. Sikapnya tiba-tiba gelisah tak tenang.
“Hm…Arlie. Saya mau bicara sesuatu,” akhirnya Arvin pun memberanikan diri.
“Apa?” tanya Arlie dengan santai.
“Saya suka kamu.”
“Apa?! Kamu bercanda ya?” tanya Arlie tak percaya dengan pernyataan Arvin yang terbilang cepat.
“Enggak, saya nggak bercanda. Saya serius saya suka kamu,” wajah Arvin menunjukkan sebuah keseriusan yang tulus.
“Mending kamu suka aja sama orang lain, daripada sama saya,” jawab Arlie menolak.
“Lho, kenapa?” tanya Arvin sambil mengerutkan kening.
“Karena saya nggak suka sama kamu,” tolak Arlie tegas.
“Saya ikhlas menyukaimu. Meskipun kamu tolak, tidak apa-apa.”
Arvin mencoba meyakinkan Arlie tentang ketulusan perasaannya. Namun, Arlie tetap menolaknya. Arvin pun terdiam. Hanya itu kalimat terakhir yang bisa diucapkan.
Setelah momen penolakan itu, Arvin tidak pernah mengganggu Arlie lagi. Dia hanya mengamati Arlie dari kejauhan. Arvin juga terpaksa menghindari Arlie, karena tidak ingin membuat Arlie merasa tidak nyaman. Bahkan tempat duduknya berpindah, menjauh dari Arlie.
**
Hingga empat bulan berlalu. Tiba-tiba Arvin mengajak Arlie bicara di taman dekat air mancur. Tempat pertama mereka bertemu.
“Arlie, ada sesuatu yang penting untuk aku bicarakan,” kata Arvin.
Arlie penasaran dengan apa yang akan dibicarakan Arvin setelah berbulan-bulan menghindar.
“Apa?” Arlie melihat mimik wajah Arvin yang pucat.
“Aku akan izin selamanya.”
“Lho, kenapa? Kamu mau kemana?” entah kenapa Arlie tiba-tiba panik.
“Nanti kamu tahu sendiri.”
“Kamu kok aneh gini sih. Jangan buat aku tak tenang seperti ini. Aku mohon kasih tahu aku.”
“Pada saatnya nanti, kamu akan tahu. Yang paling penting kamu jaga dirimu baik-baik. Kata-kata dan pesan terakhirku untukmu adalah aku cinta padamu Arlie.”
Arvin kemudian memegang tangan Arlie.
“Aku ingin kamu menyimpan ini.”
Arvin meletakkan selembar foto yang menunjukkan dirinya sedang memandangi Arlie dari kejauhan.
Arlie hanya diam memandangi foto itu. Tanpa sadar, matanya mulai berkaca-kaca.
“Oh, ya. Aku boleh minta satu hal lagi dari kamu?” tanya Arvin.
Arlie menjawab dengan anggukan.
“Minggu depan tolong kamu datang ke rumah ya?”
Arlie memandang Arvin. Melihat wajah Arvin yang samar-samar membuat Arlie semakin cemas, hingga dia tidak bisa menahan air matanya.
“Arvin…,” Arlie pun menangis.
“Kemarilah Arlie,” Arvin menyediakan bahunya untuk sandaran Arlie yang sedang menangis.
Sebelum berpisah, Arvin memberikan kalung dan gelang. Dia memakaikan langsung tanda perpisahan itu di tangan dan leher Arlie.
“Terima kasih Arvin. Aku nggak akan lupain kamu.”
Waktu berlalu begitu cepat. Sudah seminggu setelah perpisahan. Arlie ingat akan janjinya kepada Arvin bahwa akan berkunjung ke rumah Arvin.
Arlie pun pergi ke rumah Arvin sesuai alamat yang ditunjukkannya sebelum berpisah.
Setibanya di rumah Arvin, Arlie membunyikan bel.
“Iya…” ada suara dari dalam menyahuti setelah bel berbunyi.
Seseorang membuka pintu. Terlihat seorang gadis usianya seperti masih duduk di bangku SMA. Dia menyapa Arlie.
“Kak Arlie?”
“Kok kamu tahu nama saya.”
“Kak Arvin suka cerita tentang kakak. Masuk kak,” Carla, adik Arvin menggandeng tangan Arlie, mengajaknya masuk.
“Terima kasih. Aku duduk disini saja. Hm…Arvin-nya ada?”
Wajah Carla tiba-tiba terlihat sedih.
“Kak Arvin nggak ada,” jawab Carla lemas.
“Kemana?”
“Apa kak Arvin nggak pernah cerita sama kak Arlie?” wajah Carla semakin sedih.
“Enggak. Apa yang terjadi padanya?” tanya Arlie semakin panik.
“Kak Arvin mengidap penyakit kanker dari dulu. Kemarin sempat di operasi, tapi operasinya nggak berhasil,” Carla mulai meneteskan air mata.
“Kak Arvin sudah meninggal dunia,” lanjut Carla sambil terisak.
“Apa?! Kamu jangan bercanda Carla,” Arlie tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.
“Saya nggak bercanda kak. Kalau nggak percaya, ini ada surat terakhir dari kak Arvin untuk kak Arlie.”
Carla memberikan sepucuk surat berwarna biru bermotif pelangi. Arlie pun menerima surat itu, lalu membacanya.
Arlie…maaf baru ngabarin kamu. Maafin kesalahanku selama hidupku. Aku sangat mencintaimu Arlie. Jaga dirimu baik-baik ya. Aku akan merindukanmu.
Tetesan mata Arlie membasahi surat dari Arvin. Dia berhenti sejenak, lalu melanjutkan membaca.
Maaf selama ini telah membuatmu marah. Aku tahu, aku adalah anak yang dibenci olehmu.
Arlie menangis sambil mengucap dalam hati, “Tidak Arvin, selama ini aku yang jahat sama kamu.”
Ingatkah kamu dengan preman yang menghadang kita di dekat kampus?! Dia bernama Jerry. Aku mengenalnya dari kecil. Dia memang anak yang bandel. Maaf karena aku, kamu jadi diganggunya.
Aku selalu membantumu karena aku peduli dan ingin melindungimu. Saat pertama bertemu, aku ingin menjadi teman dan sahabatmu. Aku cinta padamu Arlie. Jangan lupakan aku. Terima kasih karena pernah menolongku.
Arlie tak bisa membendung air matanya. Dia menangis. Menyesal dengan sikapnya selama ini kepada Arvin. Padahal Arvin sudah sangat baik padanya.
Bersama sepucuk surat, Carla juga memberi Arlie sebuah kotak. Dia membuka kotak tersebut, dan melihat sebuah jam tangan cantik berwarna kuning emas.
Jam tangan ini adalah tanda waktu dimana kita akan bersama. (***).