Menu

Mode Gelap
Wujudkan Mimpi Pebasket Muda Jatim, MPM Honda Jatim Gelar Honda DBL 2023 East Java Series Dukungan Mas Dion Maju Cabup Pasuruan 2024 Kian Masif

Nyastra · 12 Mar 2023

Kukira Kita Sahabat


Kukira Kita Sahabat Perbesar

Oleh: Rebbeca Arju

KABARPAS.COM – INI kisahku dan Abdi. Seorang mahasiswa jurusan Psikologi yang umurnya tiga tahun di atasku. Meski lebih dalam usia, nyatanya Abdi masuk di universitas yang sama denganku pada tahun yang sama. Yah, katanya dia masih harus mengumpulkan mental dan kompetensi untuk bisa menjadi the Real Mahasiswa dengan mengambil beberapa kursus pasca lulus dari Aliyah. “Hey, gendut!” sapanya setiap ia berpapasan atau sengaja menemuiku.

“Apa, kak. Eh, maaf kupanggil kamu Gus saja ya karena kuperhatikan wajah kakak sekilas seperti guruku Gus Abdillah,” jawabku saat Abdi menyapaku pertama kali dengan body shaming diriku yang memang gendut sih… “Sok kenal ente, tapi bener kok namaku Abdi satu kelompok ospek denganmu. Terserah kamu mau manggil ane apa,”

Perjumpaanku dengan Abdi memang telah menjadi garis takdir yang Indah. Aku yang cenderung cuek tak memperhatian bahwa ternyata kami menjalani ospek di kelompok yang sama. Selain itu, aku memang sering sekali ijin pada beberapa sesi ospek outdoor karena sakit. Hal ini yang menjadi awal perhatian Abdi padaku dan akhir putusan untuk patah hati yang sempurna. Masa ospek pun telah berlalu. Meski berbeda fakultas dan jurusan, aku dan Abdi sering berpapasan karena seluruh mahasiswa baru wajib bermukim di ma’had selama dua semester.

Ma’had memiliki akses jalan sama baik bagi mahasiswa santri (mahasantri) putra maupun putri untuk menuju lokasi perkuliahan. Maka, sering aku berpapasan dengan Abdi saat berangkat, beristirahat, atau pulang kuliah. Tingkah gokilnya selalu sama, dia selalu menyapaku gendut dan kemudian aku tersinggung lalu mengejarnya lari. Suatu hari, aku bertemu Abdi di gedung B perkuliahan.

Kucoba nego dirinya untuk tidak seenaknya melakukan body shaming padaku. “Please lah, aku menghargaimu dengan memanggil Gus tapi kamu malah gemar meledekku gendut di jalanan,” pintaku serius.

“Okay, okay… Gimana kalau kamu kupanggil Barongsai?” jawabnya. “Hhh…! Apaan? Gak dipanggil gendut ganti Barongsai. Emang sebegitu hiperaktifnya aku kah sampai kau samakan seperti Barongsai?” protesku. “Bukan… Barongsai ini singkatan, genduuuut. Namamu dan sebagai makhluk hidup kita wajib saling menyayangi,” jelasnya sambil berlalu pergi dariku. “Woi Gus, maksudnya apa?” aku berteriak karena Abdi sudah menjauh dariku. “Aku ada kelas, Barongsai. Maaf,” sahutnya sambil berlari menuju gedung A.

Faura yang kala itu menjadi saksi penamaan baruku ala Abdi tertawa kecil. Aku penasaran pendapatnya tentang pernyataan Abdi tadi. Menurut Faura, Barongsai yang dimaksud Abdi jelas bukan seni tari Tiongkok yang menggunakan sarung dan topeng yang menyerupai singa. Aku yang tak ambil pikir juga mempercepat langkah ke kelas karena waktu telah menunjukkan pukul 09.20 tepat. Bunda Syafa adalah dosen yang disiplin maka pasti beliau tak akan mengijinan kami masuk jika terlambat lebih dari lima menit. Oalah…

Nafasku masih terengah-tengah mengejar jadual dosen teladan, tapi sungguh aku sangat bahagia ketika tahu bahwa Bunda Syafa mendadak harus rapat bersama rektorat dan kelas ditunda. “Fau, aku mau balik ke ma’had dulu ya. Mumpung kelas kosong, aku mau nyuci baju dulu,” pamitku. “Ih kamu nie. Kumpul sama teman-teman aja dulu. Kami mau ke perpustakaan, yuk ikutan biar kayak mahasiswa beneran gitu lho!!” ajak Faura. “Haa… Bisa aja kamu, Fau. Ok deh,”

Tak kuduga ternyata suasana perpustakaan sangat syahdu untuk mengumpulkan informasi dan mendapatkan ide untuk event menulis bersama Jejak Publisher. Aku berterimakasih kepada Faura, mbak Linda, dan teman-teman yang menggeretku ke sini. Sumpah, cozy banget perpustakaan kampusku ini. “Fau, mbk Linda, dan teman-teman… Aku boleh milih spot sendiri ya, maklum lagi ada deadline venet nulis nie,” pamitku. Mereka mengiyakan dan berpencar menuju katalog bacaan favorit masing-masing.

Well, itu Gus Abdi. Serius juga lagaknya kalau sudah di perpustakaan. Aku tidak mau mengganggu ataupun menyapanya. Cukup kulewati bangku bacanya dengan meletakkan secarik kertas bertuliskan “Barongsai”. Aku memilih bangku baca di pojokan sebelah koleksi buku Psikologi dan Agama. Beberapa mahasiswa ada yang menikmati suasana perpustakaan dengan diskusi. Aku tak bisa mengingkari bahan diskusi mereka sangat menarik. Kudengarkan mereka dengan seksama walau jemariku telah menggenggam satu buku yang terbuka. “Konsentrasi!” bisikan itu lirih tapi membuyarkan perhatianku pada kelompok diskusi mahasiswa di spot sebelah. “Kamu, Gus! Ngapain kemari? Udah lanjut baca hai si kutu rak. Ckckck” “Ngawur ente, ane di sini ya. Kasihan gendut-gendut sendirian,” Mulai deh dia bikin moodku swing. “Udah, sana!” usirku. “Jangan marahlah, iya maaf Barongsai.” Ibanya. Dia tetap duduk di depanku dan nampak sibuk menuliskan sesuatu. Aku juga kembali berkonsentrasi dengan buku bacaanku dan sesekali menguping lanjutan diskusi di sebelah. “Baca ya… Udah mau azan Zuhur, jama’ah. Budaya pesantrennya jangan luntur!” Gus Abdi berlalu setelah meletakkan balasan di kertas yang sama yang kuberikan tadi. Kuurungkan niat untuk membaca kertas itu secara langsung, dan kuikuti saran Gus Abdi untuk segera bersiap-siap jama’ah salat Zuhur. Aku berpamitan kepada teman-temanku, dan bergegas keluar dari perpustakaan. Setelah pertemuanku itu, Gus Abdi semakin sering memberiku perhatian dan peringatan untuk istiqamah. Bahkan, saat ada konser di kampus aku pun tidak dibiarkannya pergi sendiri bersama teman-teman cewekku. Gus Abdi selalu mengontrolku dan melindungiku bersama sekelompoknya. Kini, aku yang sangat sulit percaya pada orang lain merasa telah menemukan orang yang tepat untuk bercerita tentang sakitku.

Di waktu senggang, kutelepon Gus Abdi untuk mendengarkan latar ketergantunganku pada obat yang membuatku gendut seperti saat ini. Entah dengan jurus apa, Gus Abdi mampu meyakinkan bahwa yang aku butuhkan adalah meningkatkan rasa percaya kepada orang lain dan mengikis trauma. Sikap ini akhirnya benar-benar membuatku dapat menghentikan ketergantungan pada medis dan aneka multivitamin. Gus Abdi juga intensif mengingatkanku tentang salat berjamaah dan nderes Alquran melalui pesan WA. Ia bahkan sangat jeli mengamati masa-masaku berhalangan ke masjid dan menyuruhku mengganti dengan istiqamah baca salawat. Rasa terima kasihku kepada Gus Abdi karena berhasil membuatku lebih sehat dan semangat. Suatu hari, Gus Abdi tak ragu mengatakan padaku untuk jangan pernah berharap pada laki-laki yang tak pernah sowan meminta restu kepada orang tua dan guruku, sekalipun aku telah memendam cinta yang besar pada laki-laki tersebut. “Maksudnya apa ya, Gus?” tanyaku atas pernyataannya. “Gak ada. Aku mau sowan ke Kiaimu. Kapan bisa antar aku?” Gus Abdi balik bertanya padaku. “Monggo, Gus. Naik angkot ya, gak mungkin lah kita boncengan berdua,” ucapku. “Iya pasti.” Jawabnya singkat. Setiap hari minggu aku memang rutin datang ke pesantren sendirian untuk setor hafalan dan sharing program kebahasaan bersama juniorku di Pusat Pengembangan Bahasa Santri (P2BS). Namun, minggu ini berbeda. Aku datang bersama Gus Abdi. Gus Abdi menungguku sampai selesai sesi setoran. Adik-adik yang telah menungguku tadrib bahasa kuminta untuk melaksanakannya secara mandiri.

Aku tidak berani menghadap Kiai bersama laki-laki kecuali ayah dan adikku. Jadi, kuminta Gus Abdi untuk menghadap beliau sendiri. Aku menunggunya di ruang tamu pesantren. Tak ada perasaan aneh apapun dalam hatiku. Aku hanya yakin Gus Abdi menemui Kiaiku untuk menimba ilmu atau mendapatkan barokah doa dari beliau.

Setelah selesai sowan, Gus Abdi menuju ruang kumenungguinya. Tanpa diduga, kak Fatimah (seorang abdi ndalem) memberitahu bahwa Kiai mengutusku untuk menemui beliau. Usai menemui sang Kiai, aku hanya bisa terdiam. Aku memilih tak lagi banyak bercerita sepanjang perjalanan kembali ke kampus. Begitu pula dengan Gus Abdi, gesturenya seperti gerogi dan kaku. Kami lama tak pernah bertemu lagi setelah sowan ke Kiai saat itu hingga akhirnya Gus Abdi berpapasan denganku.

“Assalamu’alaikum Barongsai…” sapanya. “Wa’alaikumussalam, Gus. Lama gak kelihatan? Sehat?” tanyaku. “Alhamdulillah sehat. Aku masih sering lihat kamu salat berjamaah itu cukup kok,” jawabnya. Tiba-tiba aku mengalami rasa yang tak biasa, jantungku berdetak kencang. “Aku cuma mau tanya, Kiai dawuh apa setelah aku keluar ndalem dan kemudian kamu dipanggil masuk?” “Ehmm, maaf Gus… tapi jujur sampai sekarang aku gak paham maksud Kiai menuturkan demikian,” Jawabku berkelit. “To the point saja!” ucap Gus Abdi agak memaksa.

“Menurut Gus, kenapa Kiai bilang jangan dekat-dekat ya Gus?Aku disuruh fokus dulu memperbaiki saat dan ngajiku,” jawabku sambil takut Gus Abdi tersinggung. “Oh Ok, kalau demikian keputusan Kiai insyaallah terbaik. Kita break ya!” Gus Abdi mengatakan dengan penuh ketegasan meski kulihat matanya sedikit lebih basah. “Break?” heranku. “Iya kita putus. Pengetahuan kita jauh dengan Ma’rifatnya Kiai. Insyaallah aku tidak akan menikah sebelum kamu menikah. Jaga dirimu baik-baik.” Jelasnya.

“Lho Gus, kukira kita sahabat? Aku sangat menghormati Gus Abdi, menganggap Gus Abdi sebagai guru dan motivatorku. Maaf jika aku tak peka, Gus.” Tangisku tak tertahan, entah karena mungkin aku memang telah mencintainya tanpa sadar atau apa. “Iya gak papa. Barongsai adalah singkatan namamu dan sayang. Sudah kutulis di kertas yang kuberikan di perpustakaan dulu.”

“Ya Allah maaf Gus. Kertas itu kuselipkan di buku yang kubaca di perpustakaan, dan aku lupa untuk mengambilnya karena terburu-buru mengikuti saran Gus untuk ikut salat berjamaah. Maaf Gus…” “Gak papa, memang kita tidak jodoh. Kiai pun tidak memberikan ridlo. Semoga kamu sehat dan semangat terus. Maaf, tapi ijinkan aku mengatakannya Uhibbuki fillah” pamitnya.

Tangisku semakin pecah. “Wa ana uhibbuka, Gus.” Jawabku. Kami terdiam “Gus, aku masih bisa curhat atau minta motivasi dan pengingat kan?” “Tidak, aku takut semakin sulit melupakanmu ndut.Udah ya selamat tinggal. Sehat, semangat, dan bermanfaat. Doakan aku juga. Wassalamu’alaikum…” Gus Abdi telah berlalu meninggalkan rasa cinta dan terima kasih yang masih tersisa.

———————————————-

*Profil penulis: Barotun Mabaroh, SS, M.Pd., dengan nama pena Rebbeca Arju, adalah dosen Universitas PGRI Wiranegara Pasuruan. Ia memiliki intensitas dalam riset di bidang Pendidikan Bahasa Inggris serta aktif menulis sastra dan artikel di media massa. Motto hidupnya adalah “Bermanfaatlah saat ini, bukan nanti, karena nanti mungkin tak kan dapat ditemui”. (***).

___________________________________

*Setiap Minggu Kabarpas.com memuat rubrik khusus “Nyastra”. Bagi Anda yang memiliki karya sastra, baik berupa cerita bersambung (cerbung), cerpen maupun puisi. Bisa dikirim langsung ke email kami: redaksikabarpas@gmail.com.

Artikel ini telah dibaca 83 kali

Baca Lainnya

Terpikat Kalbu

20 April 2025 - 22:06

Malam Adalah Rumahku

9 Maret 2025 - 22:38

Tidak Ada Sebab

23 Februari 2025 - 21:08

Rayap

2 Februari 2025 - 23:00

Tuhan Aku Mengenalmu dari Budaya Negeri Ini

26 Januari 2025 - 20:12

Begitu Hebatnya Duit

19 Januari 2025 - 21:21

Trending di Kabar Terkini