Oleh : Abdur Rozaq, Jurnalis Kabarpas dan Kader PMII Pasuruan
(Kabarpas.com) – MASIH pagi, Cak Salam sudah kuyu meringkuk di pojok warung Cak Suep. Pesan kopi, tapi tak juga diminum sampai lalat merubutnya seperti para timses pilkada merubut para calon. Di tepi jalan, becaknya yang ditempeli banyak stiker pasangan calon gubernur ditinggal begitu saja. Merana.
Cak Murtado yang sejak tadi pening memikirkan cara mendapatkan uang pinjaman untuk beli susu anaknya, elpiji dan paketan pulsa, jadi penasaran. Sama-sama pusing, kok Cak Salam ngetarani? Mbok ya wajah melasnya itu jangan dipasang semua, biar orang ndak curiga. Bagaimana kalau ada orang iseng memfotonya dan diunggah di media sosial? Kalau dilihat anggota dewan atau pejabat, bisa dikira menjelek-jelekkan mereka, dikira kerja kurang maksimal sampai rakyat jelata seperti Cak Salam terlihat merana bahkan di sorga bernama warung kopi.
“Kok ngelamun terus, cak?” tegur Cak Murtado.
“Sumpek, cak. Ndak narik diomeli istri, narik tuwes kesel. Sudah berbulan-bulan jarang dapat penumpang. Rebutan sama ojek online.”
“Waddah, jadi bukan hanya sopir angkot yang sambat, ya?” Cak Murtado geleng-geleng. Lupa sama masalahnya sendiri.
“Nasib jadi rakyat jelata. Dulu kalah sama angkot. Sekarang kita rukun sama sopir angkot karena orang sudah bisa kredit sepeda motor, bahkan emak-emak pun naik motor sendiri beli temp e ke pasar. Sekarang kita tambah rukun sama sopir angkot karena sama-sama kalah sama tukang ojek online. Kalah banter, kalah murah, kalah canggih,” Cak Salam tolah-toleh sama rokok eceran yang digeletakkan Cak Firman di lincak warung. Sebagai sesama rakyat jelata yang sama-sama miskin, eh dimiskinkan, Cak Murtado peka. Cak Murtado teringat sama dirinya sendiri. Bahwa cangkem pahit karena kehabisan rokok, bisa sepahit nasib karena pemiskinan sistematis yang entah dilakukan oleh siapa.
Rokok, memang mengandung candu sebagaimana janji para calon saat pemilu. Semua orang sudah tahu jika itu semu dan beracun, tetap saja menyuguhkan kenikmatan sesaat sehingga membuat sakau.
“Tolong poo, cak, gimana gitu biar ojek online dilarang,” pinta Cak Salam.
“Lhuk. Menjadi tukang ojek itu ndak melanggar Pancasila, cak. Ndak boleh kita larang. Lagi pula, saya ini bukan wakil rakyat.”
“Ya gimana ta, cak. Sampeyan kan katanya tukang pitenah, eh tukang nulis berita. Tulis berita para tukang becak yang kalah sama ojek online,” Cak Salam makin melas.
“Mosok cak, tiap hari narik becak cuma dapat satu penumpang, itupun masih nawar. Padahal kami harus ngengkol, tidak seperti ojek online yang tinggal stater langsung budal. Dulu kami pakai mesin selep tepung, tapi dilarang. Apa salah kami, wong tidak bikin macet, tidak banyak polusi. Kami kan juga rakyat Indonesia, berhak cari makan dengan cara halal? Kenapa kok dipersulit, sedang ojek online yang katanya bosnya kapitalis atau apa ndak dilarang? Atau kalau memang ndak berani melarang, tolong lah trayeknya diatur. Ojek online ini nakalan, ke mana saja boleh tidak seperti kami tukang becak sama sopir angkot. Apalagi kalau nyetir mereka sering tidak fokus karena terus melihat HP.” (***).