Menu

Mode Gelap
Wujudkan Mimpi Pebasket Muda Jatim, MPM Honda Jatim Gelar Honda DBL 2023 East Java Series Dukungan Mas Dion Maju Cabup Pasuruan 2024 Kian Masif

Cerpen · 20 Jun 2021

Video Call


Video Call Perbesar


Oleh: Abdur Rozaq

KABARPAS.COM – SERABUT cahaya menyambar dari balik gumpalan awan, membuat langit terlihat retak. Menelusup di antara celah-celah dinding papan yang mulai melepuh. Hujan telah berhenti, namun sisa-sisa rintiknya akan membikin suara gaduh di atas genting asbes ketika rimbun bambu tertiup angin. Angin gigil dan bau lumut bebas menelusup dari ribuan hektar hutan jati di luar sana. Tetesan sisa air hujan dari lubang asbes menimbulkan suara ritmis, mengetuk kaleng susu di dekat bantal.
Selain itu, alam lengang meski malam belum begitu mengendap. Suara-suara tak lagi terdengar, kecuali sisa rintik hujan. Gemerisik halus laksana derung mesin ATM hendak mengeluarkan lembaran uang. Kulihat ratusan notifikasi pesan telah berjejal di berbagai group WhatsApp-ku.
Alan mendekur pelan di atas kasur busa. Menggeliat ketika kucium pipi tembamnya. Lihatlah, ia semakin tanpan seperti Rudi, mantan suamiku. Tahun depan Alan sudah masuk SD, maka itulah alasanku rela mengorbankan apa saja demi masa depannya.
Seorang pelanggan mengirim pesan suara, kupasang earphone untuk mendengarnya. “Ayo mbak, aku sudah tak tahan, nih.” Ia memang salah satu pelanggan setiaku. Tadi sore ia telah mentransfer uang lima puluh ribu. Malam ini kami janjian untuk melakukan video call.
Dengan berhati-hati aku bersejingkat mengintip seisi rumah. Bapak sudah terlelap di atas lincak kayu, emak pasti telah meringkuk di kamar depan sejak tadi. Aku ingin memastikan jika Ratna, Dewi dan Tyas telah pulas di lantai ruang tengah. Satu-satunya gangguan adalah Parman adik lelakiku yang sering pulang larut malam entah kelayapan dari mana.
Setelah kurasa aman, kukunci kamar dari dalam. Kusiapkan pula minyak pelumas dan kunyalakan lampu khusus agar video lebih jelas. Setelah kuberi kode, perjaka tua di seberang sana langsung menghubungiku via video call. Kupastikan Alan tidak terbangun agar tak mendapatiku tanpa sehelai benang pun. Dalam hati aku membatin, ‘lihatlah nak, demi masa depanmu ibu rela seperti ini.’


Kubuang tisu bekas pada kresek, besok pagi-pagi akan kubuang ke sungai belakang rumah. Terasa perih pada bagian bawah tubuhku. Perjaka tua itu memang terlalu lama untuk mencapai puncak. Namun agar tak kapok, kuturuti saja kemauannya. Termasuk memintaku menggunakan terong dan mengenakan jilbab, meski aku bukan seorang muslim. Sebelum menerima pelanggan kedua, kupastikan seisi rumah tak ada yang terbangun. Aku khawatir desahan-desahanku terdengar oleh mereka dan semuanya menjadi runyam.
Sebenarnya aku sudah lemas karena malam ini saja sudah dua kali kulayani pelanggan. Namun demi masa depan Alan, akan kuterima juga pelanggan ketiga. Aku masih beruntung karena tak harus menerima bokingan dalam arti sebenarnya. Tak harus menemui seseorang di losmen atau hotel, digagahi bermacam laki-laki di alam nyata, apalagi berlarian dikejar satpol PP. Resikoku hanya lecet, takkan menderita penyakit kotor. Satu-satunya mimpi buruk adalah, mereka merekam video call itu dan menyebarkannya di dunia maya.
Mimpi buruk itu sebenarnya seringkali menghantui pikiranku. Berkali-kali aku mewanti-wanti agar para pelangganku tak merekamnya. Aku tak mau jika emak, bapak, keempat adikku apalagi mantan suamiku tahu apa yang kulakukan selama ini. Seringkali aku berdoa agar Tuhan tak mempermalukanku di depan Rudi, mantan suamiku. Aku telah menggugatnya cerai karena ia tak mampu memberikan kehidupan yang layak. Jika kini ia tahu aku malah tersungkur dalam kemelaratan yang sebenarnya, lebih baik kuakhiri saja hidup ini.
Kutuang segelas air dari galon isi ulang. Agar nyeri segera hilang dan bisa segera kuterima video call selanjutnya, kutelan sebutir paracetamol bersama tablet suplemen. Kusisir rambut dan kupoles make up yang luntur oleh keringat. Setelah sinyal stabil, kuangkat video call dari pelanggan ketigaku malam ini.


Begitu bercerai dengan Rudi, aku kembali menumpang di rumah bapak. Berkubang dalam kemelaratan yang lebih curam karena harus menghidupi Alan seorang diri. Aku memang sudah terbiasa dengan mulut pahit dan hanya mampu menelan ludah atas berbagai keinginan sedikit mewah. Namun Alan butuh susu, popok, cemilan dan semakin beranjak dewasa, ia juga ingin memiliki apapun seperti teman sebayanya. Aku tak tega dengan tangisnya ketika meminta sesuatu dan aku tak mampu memenuhinya. Alan juga butuh makanan selain nasi liwet dan tempe goreng demi tumbuh kembangnya.
Dulu aku menggugat Rudi ke Pengadilan Agama karena ia tak mampu memberikan kehidupan layak seperti para tetangga kepada anak-istri mereka. Namun, sebenarnya rayuan Widodo lah yang membuatku benar-benar nekat melayangkan gugatan cerai kepadanya. Sayangnya, setelah proses perceraian beres, ternyata Widodo tak lebih dari seorang bajingan yang menginginkan tubuhku secara gratis. Andai aku mendengar nasehat Rudi untuk tidak coba-coba menginstal aplikasi media sosial, mungkin kini yang duduk di jok mobilnya adalah kami. Aku dan Alan.
Aku sudah berkali-kali mencoba melamar kerja ke kota. Tapi zaman sekarang, untuk menjadi seorang pelayan toko pun mereka mencari lulusan SMA. Aku juga sudah mencoba membuka warung kopi di tepi jalan untuk melayani para penebang kayu, mandor atau penyeberang hutan, modal tak pernah kembali karena sebagian besar penebang kayu dan kuli paggul itu hanya membayar janji. Pernah kucoba menjual jajanan keliling keluar masuk kampung, ternyata orang kampung pun kini tak doyan cenil, lupis, srabi, ote-ote apalagi nogosari. Hampir semua usaha halal yang pernah kulakoni akhirnya kandas. Jalan rejekiku seakan ditutup entah oleh apa. Atau, benarkan kata orang jika Tuhan akan menutup pintu rejeki seorang pezina? Maka kini, karena ibarat benalu yang menggerogoti pohon kering, keempat adikku malah menganggapku sebagai parasit tak tahu diri.
Seringkali terlintas pikiran nekat untuk kuakhiri saja hidup ini dengan kendat . Biarlah mayatku ditemukan tergantung di pohon jati oleh para mandor atau kuli paggul. Tapi aku tak sampai hati menginggalkan Alan sebatang kara. Aku tak mau ia diasuh oleh ayahnya karena akan menjadi anak tiri. Bapak dan Emak sudah sangat tua, sedangkan keempat saudaraku terlanjur menganggap kami parasit. Apalagi, mereka bisa saja menganiaya Alan karena anakku itu memang nakal tak selumrah anak manusia. Seringkali kupertanyakan kepada diri sendiri, benih siapakah sebenarnya anakku itu? Bukankah saat itu aku membagi tubuhku untuk suamiku dan Widodo?


Sekali lagi aku bersejingkat mengintip seluruh isi rumah. Semua orang sudah benar-benar terlelap, namun saat malam mulai larut begini Parman biasanya pulang dengan tubuh sempoyongan. Maka setelah pintu kamar kukunci kembali, kupasang earphone hanya di telinga kanan, berjaga-jaga agar bisa mendengar derung motor dan Parman menggedor-gedor pintu depan.
Kembali kulolos semua pakaian yang sejenak kukenakan. Dengan tubuh tanpa sehelai kain pun, aku kembali pasrah di depan kamera HP yang terhubung ke internet. Di seberang sana, seorang anak sekolah sedang meremas-remas bagian tubuh di balik celananya. Melalui earphone ia memintaku mendesah-desah, terpejam dan mempermainkan bagian bawah tubuhku yang masih saja terasa perih. Dari balik kamera ia menatap tubuhku seraya berkali-kali menelan ludah. Entah mengapa, aku tiba-tiba merasa risih. Aku membayangkan kelak Alan akan berlaku seperti bocah di layar HP itu, menelan ludah menatap tubuh polos perempuan dewasa seraya mengguncang-guncangkan genggaman tangannya di balik celana.


  Ketika semua orang ke ladang, aku biasa menemami Alan bermain di rumah seraya sibuk bertualang di dunia maya. Tak mungkin ia kuajak bermain dengan teman sebayanya karena akan selalu timbul perkara. Orang bilang Alan autis, tapi menurutku tidak. Ia mungkin hanya meniru apa yang selama ini kulakukan terhadap Rudi, mantan suamiku. Mengumpat, menjambak, menggigit bahkan memukul ia menirunya dariku. Satu-satunya yang bisa membuat Alan anteng adalah anak kucing peliharaan emak. Sayangnya, binatang itupun kini pincang, Alan menghantamnya dengan sebongkah batu beberapa hari lalu.

Jika engkau seorang ibu, pasti tahu kegetiran apa yang sedang kutenggak. Kadang kukutuki diri sendiri ketika Rudi mengajak kami melakukan video call. Ia bukan lelaki tukang pamer apalagi pendendam. Bukan kesengajaan jika ia selalu berada di dalam mobil mewahnya, karena ia memang selalu dalam perjalanan, pontang-panting sebagai pengepul porang . Rudi selalu menanyakan kabarku dan Alan. Kujawab dengan jujur jika aku sedang terpuruk dan hancur. Ia seringkali menangis, namun aku pura-pura tersenyum. Menyoraki dosaku terhadapnya.
Selebihnya, kupromosikan layanan video call di berbagai akun media sosial agar hidup terus berlanjut. Kupasang tarif di bawah normal agar para bocah pun bisa menjadi pelangganku. Lima puluh ribu hanya untuk melihat tubuh polosku, kukira sudah impas.


Suatu malam, sebuah panggilan masuk ketika aku sedang melayani seorang pelanggan. Berkali-kali kutolak, ia tak putus asa. Sebelum melayani pelanggan selanjutnya kuterima panggilan itu.
“Siapa?”
“Aku.”
“Aku siapa? Tak usah bertele-tele, aku sibuk!”
“Widodo.” Ia kemudian tertawa ringan, seakan bukan penyebab perceraianku dengan Rudi.
“Mau apa lagi kau, bajingan?”
“Jangan kasar begitu lah, Sri. Kita kan sudah pernah akrab? Bahkan lebih dari akrab.”
“Mau apa lagi?”
“Aku ingin meminta maaf padamu, dan memulai hubungan yang baik lagi.”
“Aku tak sudi mengenal manusia bejat sepertimu.”
“Kalau tidak mau ya sudah, tapi jangan menyesal kalau…..”
“Kalau apa?”
“Ya lihat sendiri nanti. Kamu tidak mau kan, emakmu kendat karena menaggung aib?”
“Setan kamu!”


Aku tak peduli jalanan licin dan nyawa bisa saja melayang jika kepalaku terantuk batu. Ular tanah, banaspati atau apapun sudah tak mampu menakuti perempuan yang menginginkan ajal sepertiku. Dengan senter di HP kususuri hutan jati yang menjelma labirin kegelapan. Aku sudah berjalan ratusan meter, tertatih-tatih di antara batu, tonggak kayu dan tanah licin. Di bawah sana menganga jurang sarang lelembut, jika aku terpenting ke sana, siapa pun akan enggan mengambil jasadku. Untungnya, sekelebat kulihat kode cahaya senter dari Widodo. Kupercepat langkahku karena kematian kurasa lebih baik daripada harus ditunggangi Widodo. Namun malaikat maut tak juga menjemput hingga aku berhadap-hadapan dengan bajingan itu.
“Ayo lakukan cepat, keburu anakku terbangun,” bentakku.
“Aku tak mau egois, Sri. Kita harus sama-sama merasakannya.” Ia langsung meraih tanganku, diseretnya menuju bagian bawah tubuhnya. Laksana seekor anjing, Widodo mendengus-mendengus seraya mendekap tubuhku dari belakang. Ia mendorong tubuhku agar bertumpu pada sebuah pohon jati penuh lumut. Kubiarkan ia melolos rokku. Ketika batang laknatnya ia arahkan menuju pantat, kutusukkan belati ke lambung kirinya.
Malam tiba-tiba hangat oleh darah Widodo yang muncrat dan membanjir di tanah. Kuraih HP dari genggamannya yang mengejang-ngejang hebat.
“Sekarang kau takkan bisa menyebar video itu lagi, Widodo.” (***).

Artikel ini telah dibaca 52 kali

Baca Lainnya

Moco Quran Angen-angen Sak Maknane

10 November 2024 - 09:03

Gus Hakam Tebuireng 

3 November 2024 - 06:31

Gus Nasih Pasukan Badar

27 Oktober 2024 - 09:05

Kawikwik Itu Siit In Cuing

19 Oktober 2024 - 05:43

Sidogiri Menangis

13 Oktober 2024 - 16:29

Berguru ke Yai Tain

5 Oktober 2024 - 18:55

Trending di Cerpen