KABARPAS.COM – BINGUNG bercampur sedih, ku pandangi bayi mungil yang tak berdosa ini, sembari berkata dalam hati, “Bayi siapa ini….?!”
===next===
Menit demi menit ku lalui bersama bayi mungil ini. Entah siapa namanya, bahkan akupun belum sempat menanyakannya. Ya Tuhan… harus ku apakan bayi ini? Keponakan saja aku tak punya, apalagi anak. Tak ada sedikitpun yang aku ketahui dalam mengurus bayi.
Sudah hampir 2 jam, Khanin belum memberi kabar setelah meninggalkan bayi ini bersamaku. Aku panik bukan kepalang, saat si bayi mulai gelisah dan menangis. Dengan tangan sedikit gemetar sembari membaca instruksi yang tertera pada kotak susu, aku bergumam sendiri, “Dua sendok takar, 60ml. Hmmm.. iya benar.”
Dengan semangatnya si bayi mulai minum susu nya.
“Bagaimana jika dia akan terus menangis dan rewel seharian? Aku harus bagaimana? Khanin belum ngabarin lagi!”
Aku terus saja berbicara sendiri.
Setelah lewat 6 jam aku menunggu, tiba-tiba ada suara panggilan masuk dari nomor tidak dikenal.
“……………….” Aku pencet tombol hijau tanpa berkata-kata.
“Halo…,” suara perempuan dari seberang telepon tampak asing.
“Ya, siapa?” jawabku ketus.
“Mbak Arine, saya Hanni, mbak. Istrinya Khanin,” ucapnya.
“Syukurlah…,” jawabku lega sampai tak mampu berkata-kata lagi.
Tak banyak yang bisa ku tanyakan, karena Hanni terus bercerita dengan nada khawatir dan tergesa-gesa. Terdengar suara teriakan memanggil dari tempat Hanni. Dia menjauhkan speaker Hp sambil menjawab, “Ya Ma, tunggu. Nanti adek turun.” Dia mengakhiri kata-katanya dengan meminta maaf padaku, lalu menutup teleponnya.
Aku sedikit menerka-nerka tentang siapa bayi ini. Namun, aku urungkan niatku berprasangka lebih jauh, karena bagiku yang terpenting adalah menjaganya.
Senja Hary, nama bayi mungil yang kuat dan hebat ini. Dia sungguh anak yang pintar dan penurut. Setiap malam tidak pernah rewel. Seolah mengerti betul tentang situasi dan kondisi ku yang kebingungan tanpa tahu ilmu tentang mengurus bayi. Dia menjadi penghiburku dikala sepi. Entah apa yang akan kulakukan di hari liburku tanpanya.
Hari berlalu begitu cepat, tak terasa hari libur segera berakhir. Aku bimbang, bagaimana dengannya? Haruskah ku titipkan dia ke daycare dekat kantor? Atau aku bawa dia kerja? Atau……………….
“Ah… Aku ambil jatah cutiku aja deh,” kataku dalam hati, memutuskan.
Syukurlah, pengajuan izin cuti berjalan lancar. Aku cuti selama 2 hari untuk fokus mengurus baby Hary. Aku mulai terbiasa dengan keberadaannya dan aku mulai menyayanginya. Hingga waktu berjalan terasa begitu cepat berlalu. Hari Jumat telah tiba, Khanin dan Hanni akhirnya datang untuk menjemput baby Hary.
Sebelum pergi, mereka sempat bercerita tentang acara pernikahan di Pontianak. Mereka juga sangat cemas pada baby Hary karena tidak bisa sering menelpon disebabkan susah sinyal serta rentetan jadwal acara adat dan resepsi pernikahan yang sangat padat. Tak lupa mereka meninggalkan oleh-oleh Coklat Cempon, Sirup Sengkit dan Bingke khas Pontianak untukku.
Hari berganti bulan. Di tempat kerja, tanpa ada perasaan kepo berkelanjutan tentang asal usul baby Hary, aku bekerja bersama Khanin dan anggota tim yang lain seperti biasa. Sesekali aku hanya menanyakan kabar baby Hary. Dia tumbuh menjadi anak yang tampan dan ceria. Genap 10 bulan sudah usia baby Hary. Tanpa aku duga, dia datang ke kontrakanku bersama kedua orangtuanya.
Terlihat Hanni sedang hamil besar. Ternyata dia hamil. Mereka mendatangiku bermaksud ingin menitipkan Hary bersamaku lagi, karena jadwal operasi caesar persalinan Hanni adalah besok. Selain itu, Hary juga sedang sakit demam yang cukup lama dan tinggi. Sudah 5 hari demamnya naik turun. Mereka sudah memeriksakannya ke dokter anak. Cek darah pun sudah dilakukan. Hasilnya akan keluar besok pagi. Aku menerimanya dengan senang hati. Khanin dan Hani kemudian pamit.
Keesokan paginya, kening Hary sangat panas, badannya menggigil dan berkeringat. Aku sangat panik dan bergegas memanggil taxi online. Kami pergi ke RS Ibu dan Anak, tempat Hanni melahirkan. Kebetulan sekali, hasil laboratorium pemeriksaan darah Hary sudah keluar.
Dokter anak itu berkata, “Bu, dede’ Hary trombositnya kurang dari 5.000mm kubik dan hematokrit naik >40%. Itu artinya, dia positif Demam Berdarah dan perlu perawatan intensif di RS. Selain itu, dia juga mengalami pendarahan terus menerus pada hidung serta muntah darah. Jadi dia perlu ditransfusi.”
Aku dengan sigap segera mengurus administrasinya agar dede’ Hary bisa segera dirawat inap sesuai petunjuk dokter tersebut sembari menghubungi Khanin agar segera tiba ke ruang rawat anak.
“Halo, Nin. Lu di mana?” tanyaku.
“Gua masih di depan ruang operasi. Hary baik-baik saja kan?” Khanin balik bertanya.
“Hary positif DBD. Dia harus dirawat karena terus mimisan dan muntah darah,” ceritaku dengan nada sedih.
“Lalu…? Sekarang dia sudah di ruang perawatan kan?” Khanin terdengar gelisah.
“Iya sudah. Tapi Lu cepet kesini. Hary butuh transfusi darah, urgent. Golongan darah gua nggak sama,” kataku.
Khanin pun bertanya lagi, “Emang golongan darahnya apa? Kalau A positif, kita harus nunggu Hanni kelar masa pemulihan.”
“Bukan A positif, Nin. Tapi AB positif,” jawabku dengan nada tegas.
Tak ada jawaban di seberang telepon. Kemudian terdengar suara “Brakk” sangat keras. Seperti suara benda terjatuh. Aku sangat panik dan bingung.
“Halo….. Nin. Halo…… Lu kenapa, Nin?”
“Khaniiiiiiin…. Halo…..!!!”.
===to be continue===