Oleh: Fittriyah
Aku duduk tersimpuh menadahkan tangan.
Berdoa berharap keajaiban.
Rasanya sudah di kerongkongan.
Ingin rasanya berteriak sendirian
Ditengah perjalanan sejuta tanya di lontarkan.
Aku hanya mampu terdiam dan tersenyum memikirkan jawaban.
Dalam hati lirih aku berkata.
“Tuhan, aku lelah terbelenggu”.
Katanya, badai akan berlalu.
Dan katanya, setelah hujan akan ada pelangi.
Namun, dampak dari badai itu kerusakan.
Dan tidak semua hujan, berakhir dengan pelangi.
Perjalananku seolah buntu,
Aku hanya mampu terdiam dan berdiri kaku.
Awalnya, ku kira arahku semakin terang.
Ternyata, kegelapan masih sangat pekat.
Tuhan, jika keajaiban ada, maka kenapa jeritan hati seolah tak di dengar?
Jika semua mampu diubah dengan menadahkan tangan, kenapa gedung tinggi, dan benda tajam yang mampu mengalihkan.
Jika kau berjanji nikmatmu akan ditambah, jika kita bersyukur.
Kenapa jalanku gelap pekat, terang dan gelap pekat?
Hanya lelah yang tersisa,
Kepasrahan menjadi keniscayaan.
Bukan, bukan soal tak bersyukur.
Namun, soal gelap yang tak terukur.
Betul, jika iman tak lagi kuat, dan lompat adalah sebuah kebenaran.
Mungkin, jembatan dan goretan adalah sebuah kepastian.
Esok ditawarkan matahari terbit.
Namun juga esok ditawarkan malam dan gelap akan datang.
Lantas, aku harus lari kemana?
Agar aku hanya bisa melihat cahaya tanpa kegelapan?
Kemarin, aku bahagia. Hingga lupa jika gelap mengintai.
Rasanya, ingin terus bahagia
Tanpa ada rasa terbelenggu.
Namun, ternyata aku salah.
I menit bahagia, 1 hari terbelenggu.
Begitu kira-kira.
Maka, biarlah aku berteman dengan gelap dan sepi.
Jangan tanya kenapa.
Aku hanya, sudah tak mampu.
Berjalan, berlari, atau sekedar merangkang untuk menuju cahaya.
Walau dalam hati berkata,
“Aku bisa”.
Pasuruan, 03 mei 2024
Fittriyah
___________________________________
*Setiap Minggu Kabarpas.com memuat rubrik khusus “Nyastra”. Bagi Anda yang memiliki karya sastra, baik berupa cerita bersambung (cerbung), cerpen maupun puisi. Bisa dikirim langsung ke email kami: redaksikabarpas@gmail.com.