Jember, Kabarpas.com – Perseteruan hukum antara KOM, janda asal Kecamatan Sukorambi, dengan DUNG, warga Kelurahan Mangli, Kecamatan Kaliwates ternyata menyingkap fakta baru yang lebih kompleks. Di balik gugatan ingkar janji pernikahan, terkuak dugaan praktik penipuan dalam proses alih nama sertifikat tanah yang melibatkan seorang notaris perempuan berinisial NN serta peran aktif DUNG, yang kala itu menjabat Ketua Satgas Fisik sekaligus Wakil Ketua Ajudikasi PTSL BPN Jember.
Kuasa hukum KOM, Moh. Husni Thamrin mengungkapkan bahwa kliennya justru menjadi korban dugaan permainan kotor oknum notaris NN. “Awalnya, klien saya ingin mengurus balik nama tanah lewat jalur resmi. Namun, oleh penjual, ia diarahkan menggunakan jasa notaris NN. Dari situlah perkenalan dengan DUNG dimulai, yang belakangan diketahui memang kenal dengan NN,” kata Thamrin saat ditemui di Mapolres Jember.
Menurut Thamrin, sebelum bertemu DUNG, KOM sudah diminta menyerahkan uang muka Rp10 juta kepada notaris NN, dari total biaya Rp30 juta yang disebut sebagai ongkos penerbitan sertifikat. Tak lama, NN justru meminta KOM menyerahkan berkas langsung kepada DUNG di kantor Desa Dukuhmencek.
Saat itu, desa tengah menjalankan program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Program ini umumnya memberikan sertifikat tanah secara gratis atau dengan biaya administrasi tak lebih dari Rp500 ribu. “Namun klien saya justru dibebankan biaya Rp30 juta. Padahal sertifikat itu diproses lewat PTSL, bukan jalur mandiri,” ungkap Thamrin.
Benar saja, sertifikat tanah tersebut terbit dalam waktu singkat dan langsung diserahkan kepada KOM oleh pihak desa. DUNG, yang mengetahui hal itu, lantas mendatangi KOM dan meminta agar sertifikat dikembalikan ke notaris NN. Alasannya, pembayaran jasa belum dilunasi.
“DUNG bilang klien saya baru bayar DP Rp10 juta. Jadi sertifikat harus diserahkan ke NN. Padahal, faktanya sertifikat itu dari PTSL yang gratis. Ini jelas ada upaya mengelabui,” tegas Thamrin.
KOM akhirnya menolak melunasi sisa biaya Rp20 juta yang ditagih NN. Ia sudah mendapat informasi dari aparat desa bahwa penerbitan sertifikat melalui program PTSL tidak dipungut biaya besar. “Jadi jelas, ini bukan sekadar salah informasi, tapi ada dugaan kongkalikong antara NN dan DUNG untuk mengambil keuntungan pribadi,” tambah Thamrin.
Perkenalan KOM dengan DUNG bermula dari proses administrasi tanah tersebut. Namun hubungan keduanya berkembang hingga personal. DUNG kerap menemui KOM di rumah maupun tempat usahanya, bahkan disebut-sebut membuka aib rumah tangganya untuk menarik simpati.
Meski persoalan asmara itulah yang membawa mereka ke meja hijau, Thamrin menekankan bahwa akar masalah justru berawal dari dugaan penipuan dalam proses sertifikasi tanah. “Kasus ini bukan hanya soal hubungan pribadi, tapi lebih besar, ada praktik penyalahgunaan program pemerintah yang semestinya gratis. Warga kecil jadi korban, sementara oknum bisa menikmati keuntungan,” tandasnya. (dan/ian).