Oleh: Gus Haidar Hafeez
KABARPAS.COM – LIP mau ke mana, tanya cak Ri penjaja buah keliling kota langganan bunda pada Alif. Mau mondok. Jawab Alip singkat sambil menata ulang barang barang yang akan di bawa kepondok. Memang sudah berani pisah sama ayah bunda. Alip hanya mengangguk. Mondok itu berat. Sanggah cak Ri sambil meladeni bunda milih buah nanas kesukaan ayah. Ngapain pakai mondok segala. Cak Ri terus godain Alif yang sibuk menata baju dan apa saja ke ransel yang baru di beli dari toko peralatan bergunung. Iya aku kepingin bisa baca kitab kuning. Mendengar kitab kuning cajri tertawa kecil. Hahaha.
Tertawa levelnya di atas senyum di bawah ngakak. Memangnya ada kitab hijau tanya cak Ri pada Alip yang masih sibuk menata barang bawaan kepondok. Sekali lagi cak Ri tertawa kecil. Ya gak ada cak Ri. Cak Ri, cak Ri. Sambil tersenyum Alif membalas gojogan cak Ri. Kalau kitab hitam apa ada Lip. Tanya cak Ri.Ya gak ada cak Ri. Yang ada mah catatan hitam seperti masa lalu cak Ri. Jawaban Alif yang telak menghunjam cak Ri. Hahaha. Ayah bunda serta cak Ri serentak tertawa renyah membuka hening segar pagi.
Begini cak Ri. Ayah sambil mengupas nanas yang baru saja di beli dari cak Ri. Bercerita tentang mondok. Sebenarnya budaya mondok di negeri ini sudah ada jauh sebelum Islam menjadi hari ini. Zaman ketika Majapahit yang Hindu masih berkuasa. Para shastri mereka para pembaca kitab suci. Belajar membaca kitab suci mengharuskan bermalam. Mengharuskan para shastri membangun pondokan pondokan kecil dari bambu atau kayu seadanya beratapkan jerami atau alang alang. Orang orang menamainya padepokan. Lalu seiring negeri ini hijau syiar Islam berangsur angsur tradisi shastri metafora kedalam kehidupan melahirkan santri yang “moco qur’an angen angen sak maknane”. Iqro bismi robbik, membaca dengan angen angen.
Romo kiyai Nawawi Banten adalah pelopor “moco qur’an angen angen sak maknane” yang wafat di tanah haram. Di kebumikan di jannatul mualla Makkah. Beberapa jengkal dari makam istri baginda rasul Muhamad panjeneganipun siti Hadijah al kubro. Makam kuno yang masih berfungsi sebagai pemakaman orang orang terhormat. Tanggal 6 Agustus 2019 pagi itu aku bermimpi mbah Mun di situ ada ayah yang wafat 25 juli 2010. Dalam mimpi aku keheranan kok bisa hari ini 6 agustus 2019 dan 2004 ketika itu aku ayah dan mbah Mun seharian bertiga membicarakan banyak hal di Gersik. Kok semua itu ada di hari ini. Dalam mimpi aku masih ingat ketika itu aku di hadapan mbah Mun dan ayah hanya sebagai samek, bukan muhotob. Aku yang hanya bermodalkan tidak budeg telinga tapi aku budeg hati. Tidak mbah Mun dan ayah keduanya saling muhotob dan mutakalim. Ada banyak yang di bicarakan semuanya tak tersimpan dengan baik. Namun soal sastra pesantren soal nabi buta huruf tapi tidak buta sastra soal Moco Qur’an angen angen sak maknane soal iqro bismi robbik.
Seingatku saat itu juga membicarakan, Alhamdu utawi segala puji. Utawi bukan mubtada, tetapi mim yang membacanya utawi. Nampak jelas di mata terlihat mim dan terang benderang terdengar telinga adalah utawi. Bila utawi adalah angen angen atau irob jowo atau juga sastra pesantren. Nahwu sebagai tata bahasa al-Qur’an tidak diserap oleh bahasa manapun. Hanya di Indonesia di serap menjadi angen angen atau irob jowo. Itu hanya di Jawa dan itu pun hanya di pesantren dan itupun saat santri hendak membaca al quran. Atau membaca apa saja yang bertuliskan huruf Hijaiyah yang arab bukan hijaiyah yang lain seperti hijaiyah yang Jawa atau Pegon.
Dar, Dar, Dar, Man manggil gedor gedor pintu kamar membangunkan aku. Pintu man buka sendiri dan mengatakan padaku Dar kamu sudah dengar kabar mbah Mun kapundut. Aku hanya diam dan duduk di ranjang tidur. Sebab saat aku masih bermimpi mbah Mun dan ayah saat terbangun dari tidur. Aku raih hape dan aku tulis puisi untuk mbah Mun ;
“Kiyai Maimun Zubair pantas pagi ini kabah di guyur hujan”. Hujan. Kau kabarkan padaku. Subuh ini telah berpulang. Kiyai Maimun Zuber. Labaik Allah huma labaik. Mbah Maimun. Engkau hadir. Penuhi panggilan tuhan. Bukan hanya jiwa. Tetapi ragamu juga hadir. Penuhi panggilan tuhan. Demi labaik Allah. Mbah Mun. Bukan hanya santri. Dihadapan kabah. Langit pun menangis. Hujan mengguyur kota haram. Haram bagi siapa saja. Menyaksikan engkau. Tidak Husnul hatimah. Hujan membasahi. Jemaah haji. Titip kabar bahwa. Langit pun menangis. Atas wafat mbah yai Maimun. Makkah almukaromah 6agustus2019″. (***).