Menu

Mode Gelap
Wujudkan Mimpi Pebasket Muda Jatim, MPM Honda Jatim Gelar Honda DBL 2023 East Java Series Dukungan Mas Dion Maju Cabup Pasuruan 2024 Kian Masif

Pojokan · 27 Agu 2014

Kota Seribu Santri


Kota Seribu Santri Perbesar

Oleh Dr. Moch. Syarif Hidayatullah (Cendekiawan Pasuruan)

Dulu waktu saya kecil, saya sering mendengar kalau Pasuruan itu kota santri dari paman atau bibi saya yang kebetulan tinggal di luar kota. Meskipun saat itu tentu saja saya tak sepenuhnya paham dengan apa yang mereka maksudkan. Belakangan setelah mulai agak besar, saya baru paham mengenai apa yang dikatakan kerabat saya itu.

Pemahaman saya tentang Pasuruan sebagai kota santri juga memang tidak statis. Ia tentu saja mengikuti perkembangan pengetahuan dan wawasan saya yang semakin hari mungkin kian bertambah. Dan, apa yang saya pahami saat ini pun, mungkin saja suatu saat akan saya ralat juga, karena tak sesuai juga dengan perkembangan yang terjadi. Atau, bisa juga ungkapannya yang perlu diganti.

Saat pertama kali paham, saya memahami kenapa Pasuruan disebut demikian karena banyak warga Pasuruan selain sekolah juga mondok di pondok pesantren. Saya salah satunya. Rasanya, aneh kalau ada orang Pasuruan tidak mondok. Tapi itu dulu. Sekarang anggapan seperti itu mulai terkikis. Kalau dulu yang mondok bisa dikatakan kebanyakan atau malah bahkan mayoritas, sekarang tidak lagi.

Bahwa mondok tetap menjadi suatu yang penting dalam pandangan hidup orang Pasuruan hingga kini, terutama dalam soal belajar ilmu agama, tentu saja tak perlu diragukan. Namun, bagaimana cara pandangnya, mungkin tidak banyak yang tahu. Hanya mereka yang pernah tinggal lama di Pasuruan dan berinteraksi secara terus-menerus dengan komunitas pondok pesantren di wilayah Pasuruan, yang kemungkinan bisa mendeteksi perubahan cara pandang masyarakat Pasuruan terhadap pondok pesantren.

Saya sendiri sebetulnya tak pernah berinteraksi yang cukup apalagi khusus dengan komunitas pondok pesantren di wilayah Pasuruan karena saya sendiri tidak pernah mondok di Pasuruan. Namun, dari abah saya, yang kebetulan pernah menjadi ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI, organisasi ikatan pondok pesantren di bawah lingkungan NU) Pasuruan selama dua periode, saya kemudian sedikit mempunyai gambaran tentang pesantren di wilayah Pasuruan. Meskipun bisa jadi ini sudah agak kedaluwarsa karena sudah sepuluhan tahun lalu sebelum abah saya berpulang ke haribaan Ilahi.

Dari beberapa kali diskusi, juga kunjungan ke beberapa pesantren dengan abah, saya lalu mempunyai kesimpulan bahwa pondok pesantren tak lagi sedisegani seperti zaman-zaman dulu. Apalagi setelah era reformasi, ketika sebagian kyai terlibat dalam kegiatan politik praktis, berpartai, atau bahkan dukung-mendukung saat pilwalkot, pilbup, pilgub, atau pilpres.

Ini berimbas pada penghormatan masyarakat terhadap figur kyai yang tentu saja berdampak pada institusi pondok pesantren. Masyarakat yang berbeda pilihan, pada umumnya membuat jarak bahkan berani berkonfrontasi dengan para kyai demi memenangkan jagoannya.  Hal yang dalam puluhan tahun silam, pasti sulit ditemukan di Pasuruan.

Di masa lalu kyai di Pasuruan posisinya sudah setengah wali. Saya mengatakan demikian sekadar untuk memberi gambaran bagaimana kyai itu begitu dihormati di Pasuruan. Tapi sekarang tidak lagi seperti itu. Apalagi setelah masyarakat juga tahu bahwa keterlibatan para kyai, termasuk dukungannya ke pihak tertentu, bukan tanpa embel-embel. Hal inilah yang mungkin membuat sebagian mereka kecewa, lebih-lebih bila mereka bukan berasal dari kalangan santri.

Kembali ke persoalan ungkapan Pasuruan sebagai kota santri, saya sempat mengira bahwa kata santri di belakang kata Pasuruan itu adalah kata sifat. Namun, bila memperhatikan sendi-sendi kehidupan di Pasuruan, sepertinya kata santri di situ bukan kata sifat. Ia hanya kata benda semata, yang menggambarkan bahwa di Pasuruan itu banyak santrinya.

Kesantrian itu tidak ditunjukkan dengan sikap dan perilaku, tapi hanya casing saja. Ini ditandai dengan banyaknya orang bersarung di sekitar alun-alun yang notabene sebagai jantung kota Pasuruan. Hanya saja saya kadang bingung, saat dikumandangkan azan dan dilaksanakannya salat berjamaah itu, mereka yang bersarung itu juga seperti tak tergerak untuk menuju Masjid Jami’ (Masjid Agung) Pasuruan. Inilah yang memperkuat anggapan saya soal kata santri itu sebagai kata benda itu.

Hal lain yang juga menjadi fokus saya adalah soal brand “kota santri” itu sendiri. Ternyata bila googling, Pasuruan bukanlah satu-satunya kota yang mendapat julukan ini. Ada Kendal di Jawa Tengah, Situbondo di Jawa Timur, juga Martapura di Kalimantan Selatan. Maka, hemat saya, bila brand ini ingin tetap dipertahankan, perlu sesuatu pembeda dengan kota-kota yang saya sebutkan itu, agar ketika disebutkan brand itu, orang langsung mengacunya ke Pasuruan.

Saya mengusulkan ditambahkan kata seribu di tengah-tengah kata kota dan santri sebagai gambaran begitu banyaknya santri di Pasuruan, meskipun–sekali lagi–masih dalam bentuk kata benda, bukan kata sifat. Jadi, brand Pasuruan yang bernuansa religi adalah kota seribu santri. Ini menjadi brand alternatif dari brand the heart of culinary, yang saya usulkan di tulisan sebelumnya.

Jangan khawatir brand santri ini tidak bernilai ekonomi. Nilai ekonomi itu bisa diciptakan, asal serius ditangani dan dipromosikan. Misalnya, memberi kesempatan orang luar, termasuk para wisatawan dari dalam dan luar negeri, untuk mondok di pondok-pondok sekitar Pasuruan. Semacam home stay di pondok pesantren.

Tentu saja ini bisa dilakukan dengan lebih dulu menciptakan situasi untuk membangun Pasuruan sebagai kota seribu santri yang memiliki sikap dan perilaku sebagai pribadi yang bersifat santri. Dan, kita perlu pula mencari kekhasan-kekhasan pondok-pondok pesantren di Pasuruan yang berbeda dengan di tempat lain. Kewirausahaan para santri untuk membangun industri kuliner Pasuruan–misalnya–juga perlu dibenahi penangannya, agar mereka bisa mandiri setelah lulus dari mondok. Ini menjadi tantangan lain bagi pemangku kebijakan di wilayah Pasuruan, baik kabupaten maupun kota, kini dan nanti.

 

 

 

Artikel ini telah dibaca 29 kali

Baca Lainnya

Makna Merdeka

12 Maret 2025 - 07:51

Tujuh Kebiasaan Anak Hebat: Bekal Generasi Unggul Menuju Indonesia Emas

26 Februari 2025 - 15:20

Makna Doa

10 Februari 2025 - 11:09

Jangan Ngaku Calon Pemimpin Kalau Belum Punya Tujuh Kebiasaan Ini!

3 Februari 2025 - 15:51

Makna Keluasan

25 Januari 2025 - 08:31

Makna Syukur

13 Januari 2025 - 08:41

Trending di Kabar Terkini