Jember, Kabarpas.com – Di sebuah dusun kecil bernama Grujukan, Desa Jatisari, Kecamatan Jenggawah, Kabupaten Jember seorang perempuan renta berumur 90 tahun bernama Siamah melewati hari-harinya dalam kesunyian. Ia tinggal di rumah berdinding bambu yang nyaris roboh, beralaskan tanah, dan tidur di atas rangka bambu tanpa kasur. Tak ada anak, tak ada kerabat, bahkan tak ada selembar dokumen yang bisa membuktikan bahwa ia bagian dari tempat tersebut.
Dalam kondisi tubuh renta, Siamah bertahan tanpa penerangan cukup, tanpa pangan layak, dan tanpa siapa pun yang peduli. Ia tak pernah menerima satu pun bantuan sosial dari pemerintah desa setempat.
Lebih memilukan lagi, Siamah tidak memiliki administrasi kependudukan seperti KTP, KK, atau dokumen apapun yang menandakan bahwa ia warga negara yang berhak atas perlindungan sosial. Padahal, data diri adalah pintu utama semua bantuan pemerintah, dari BLT hingga bantuan pangan. Tanpa itu, Siamah tak mungkin masuk dalam sistem. Ia tak terdata, dan karena tak terdata, seolah ia tak pernah ada.
Kenyataan ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang fungsi jenjang pemerintahan di tingkat bawah. Dalam struktur negara, RT dan RW adalah garda terdepan yang mengenal warganya. Mereka menjadi sumber utama data sosial yang kemudian diteruskan ke tingkat desa, kecamatan, dan akhirnya diverifikasi oleh pemerintah daerah melalui Dinas Sosial. Apalagi kini, pemerintah daerah sudah memiliki basis data Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) yang bersumber dari bawah dari hasil pendataan langsung di tingkat rumah tangga.
Namun, dari kasus Siamah, rantai informasi itu tampak putus di tengah jalan. Seolah tak ada yang benar-benar melihat, mencatat, dan melaporkan keberadaannya. Ia hidup di antara sistem yang lengkap di atas kertas, tapi kosong di lapangan.
Kisahnya baru terungkap setelah sebuah video viral di media sosial. Dalam video itu, tampak Arief Camra, Ketua Yayasan Griya Lansia Husnul Khatimah Malang datang menjemput Siamah setelah mendapat laporan dari netizen pada 5 November 2025. Dalam kondisi lemah dan kotor karena tak mampu mengurus diri, Siamah akhirnya dibersihkan, dimandikan, dan dibawa ke Malang untuk dirawat. Arief berjanji menanggung seluruh kebutuhan Siamah hingga akhir hayatnya.
Tak lama setelah itu, Dinas Sosial Kabupaten Jember bergerak cepat melakukan koordinasi dan silaturahmi ke Griya Lansia Husnul Khatimah di Malang. Tim melakukan assessment, memastikan kondisi Siamah aman dan mendapatkan perawatan layak. Langkah ini menjadi bentuk tanggung jawab sekaligus penghormatan atas gerak cepat dan kepedulian pihak yayasan terhadap warga Jember yang terlupakan.
Kini Siamah memang sudah berada di tempat yang lebih layak. Ia tak lagi tidur di bambu dingin, tak lagi sendirian menatap dinding anyaman yang rapuh. Namun kisahnya seharusnya menjadi tamparan keras bagi kita semua bahwa masih banyak Siamah lain di pelosok negeri ini, menunggu ditemukan sebelum terlambat.
Siamah mungkin satu dari sekian banyak lansia yang hidup dalam senyap, di antara rapat-rapat data dan tumpukan administrasi. Ia menjadi cermin betapa mudahnya seseorang terhapus dari sistem, bukan karena tak pantas dibantu, melainkan karena tidak ada yang peduli untuk mencatatnya. (dan/ian).



















