Menu

Mode Gelap
Wujudkan Mimpi Pebasket Muda Jatim, MPM Honda Jatim Gelar Honda DBL 2023 East Java Series Dukungan Mas Dion Maju Cabup Pasuruan 2024 Kian Masif

Kabar Malang · 20 Mar 2019 08:44 WIB ·

Ini Ulasan Yunanto Tentang Kualitas Karya Jurnalistik di Media Online


Ini Ulasan Yunanto Tentang Kualitas Karya Jurnalistik di Media Online Perbesar

Oleh: Yunanto

Saya merasa mendapat hikmah. “Mata” saya menjadi kian “terbuka”. Ternyata mayoritas karya jurnalistik di berbagai media dalam jaringan (daring) atau _online_ masih perlu peningkatan kualitas secara sangat serius.

Hikmah tersebut saya petik tatkala mencermati dan menilai lebih dari 50 judul berita. Semua berbentuk berita langsung atau berita lurus; lazim disebut _straight news_. Penilaian itu saya lakukan dalam kapasitas sebagai juri lomba karya jurnalistik (LKJ) kategori media _online_.

Ada tiga kategori lomba yang digelar oleh sebuah institusi perguruan tinggi swasta (PTS) di Kota Malang. Rincinya, karya jurnalistik media cetak, media televisi dan media _online_. Semua karya yang diikutkan LKJ harus telah dipublikasikan. Batas akhir masuknya berita yang diikutkan LKJ, 10 Maret pekan lalu.

*Kesalahan Klasik*
Saya mencatat, kesalahan klasik amat mencolok di mayoritas karya jurnalistik yang dilombakan. Kesalahan klasik dimaksud secara umum ada dua poin.

_Pertama_, ada kecenderungan kuat “mabuk” obral kata. Prinsip berhemat kata di media _online_, demi terpenuhinya aktualitas berita dalam keterbatasan ruang pewartaan, malah “dinistakan”. Mencolok mulai dari judul hingga tubuh berita.

Kalimat judul ideal dan sepatutnya tujuh – delapan kata, maksimal. Faktanya, sangat banyak judul berita yang terdiri atas belasan kata. Bahkan ada yang lebih dari 15 kata. Semua elemen 5W + H “dijejalkan” masuk judul. Saya heran, itu judul atau teras berita?!

Jumlah kata dalam satu kalimat di tubuh berita pun demikian, sangat panjang. Ideal dan sepatutnya, satu kalimat maksimal terdiri atas 20 kata. Bila lebih dari 20 kata, berpotensi sulit dicerna, susah dipahami (Ras Gading Siregar, STP – Jakarta, 1979). Realitasnya tak sedikit yang membangun satu kalimat terdiri atas 30-40 kata.

_Kedua_, kelemahan dalam berbahasa tulis sangat mencolok. Terutama pada: (1) kecenderungan mengacau-balaukan kalimat aktif dan pasif; (2) membuat kalimat yang subjeknya hilang; (3) “seenaknya” menuliskan kata baku, awalan, kata depan, kata sambung, kata ganti dan kata sandang tanpa mengindahkan akurasi penggunaan huruf kapital; dan (4)
logika kata dalam kalimat salah sehingga membelokkan makna.

Pendek kata bukan bahasa yang jernih, padat, lugas, logis, sederhana dan mudah dipahami. Padahal itulah “ruh” atau “jiwa” Bahasa Indonesia Jurnalistik (BIJ). Wajib bagi setiap jurnalis mengindahkan penggunaan BIJ secara baik dan benar. Pasalnya, jurnalis wajib berandil dalam mencerdaskan khalayak (komunikan medianya).

Saya berikan ilustrasi sebagai contoh kalimat tidak logis, berikut ini:
_Ratusan massa warga yang marah bergerak ke Kantor Kecamatan Pringgondani_.

Kata _massa_ itu bentuk jamak. Tidak boleh ada kata _ratusan_ di depan kata jamak tersebut. Maknanya menjadi salah, karena yang _ratusan_ berarti _massa_. Padahal semestinya yang _ratusan_ itu _warga yang marah_. Jadi, penulisan yang benar: _Massa ratusan warga yang marah…_ dan seterusnya.
Begitu pula terminologi _Kantor Kecamatan Pringgondani_. Sejak kapan _kecamatan_ memiliki _kantor_?! _Kecamatan_ itu sebutan wilayah. Sedangkan yang memiliki kantor itu manusia, disebut _camat_. Jadi, penulisan yang benar _Kantor Camat Pringgondani_.

*Perbendaharaan Kata*
Hal lain yang saya catat, mayoritas naskah berita yang dilombakan juga “miskin” perbendaharaan kata. Idealnya, setiap insan jurnalis memiliki “bank” kata ganti. Berisi “deposito” perbendaharaan kata ganti. Itulah pasalnya jurnalis dituntut memiliki pengetahuan umum yang luas.

Kekayaan perbendaharaan kata ganti yang dimiliki seorang jurnalis, secara otomatis menambah pengetahuan khalayak komunikan medianya. Itulah kontribusi berharga pada obsesi jurnalis turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa.

Elemen _siapa (who)_, misalnya. Idealnya dalam satu _item_ naskah berita memiliki dua-tiga kata ganti. Sehingga nama seseorang atau institusi (lazim disebut _”who_ yang dipersonifikasikan”), tidak ditulis berulang-ulang, di tiap alinea.
Hal tersebut mengindikasikan: (1) jurnalisnya “miskin” perbendaharaan kata ganti _who_; (2) komunikan medianya tidak mendapat pengetahuan ihwal _siapa (who)_ sebenarnya.

Begitu pula kata ganti pada elemen _peristiwa (what), tempat (where), waktu (when), penyebab terjadinya peristiwa (why)_ dan _bagaimana terjadinya peristiwa (how)_. Galibnya, kekayaan perbendaharaan kata ganti berbanding lurus dengan luasnya pengetahuan umum seorang jurnalis. Pasti, hal itu berpengaruh besar pada bobot kualitas karya jurnalistiknya.

*”Melek” Hukum*
Terakhir, saya tidak akan jemu mengatakan dan menulis: jurnalis wajib _”melek”_ (memahami) hukum. Terminologi _hukum_ yang saya maksud adalah hukum positif: undang-undang. Baik hukum publik (hukum pidana), maupun hukum privat (hukum perdata).

Jurnalis wajib _”melek”_ hukum, karena ia “penjaga gawang aspirasi publik”. Setiap jurnalis perlu lebih fokus dan terus-menerus menambah pengetahuannya di bidang hukum publik. Memahami kandungan UU RI No. 8/Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), mutlak perlu.

Tentu, tidak hanya _”melek”_ KUHAP sebagai “pondasi” hukum publik. Tidak pula hanya mafhum UU RI No. 40/Tahun 1999 tentang Pers. Jurnalis, utamanya yang berkarya di media daring, wajib pula _”melek”_ UU RI No. 11/Tahun 2008 yang telah diubah dengan UU RI No. 19/Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Pengetahuan yang baik tentang UU ITE, tidak hanya “menyelamatkan” jurnalis dari kemungkinan terpeleset delik _hatzai artikellen_ (tindak pidana tidak menyenangkan). Terpeleset bisa saja terjadi, bila buah karya jurnalis terbukti bukan termasuk produk jurnalistik.

Hal lain yang positif, bila jurnalis “menguasai” UU ITE maka ia memiliki potensi menyampaikan pencerahan kepada khalayak komunikan medianya. Luar biasa jika bisa diimplementasikan.

Akhirnya, lewat artikel ini saya “mengetuk nurani” kalangan pengurus organisasi profesi jurnalis untuk meningkatkan kualitas para jurnalis yang “diwadahi”. Solusinya antara lain lewat pendidikan dan pelatihan (diklat) jurnalistik secara berjenjang dan berkelanjutan.

Khalayak (umum) tahu, jumlah jurnalis di setiap daerah terus bertambah. Sayang, peningkatan jumlah jurnalis tidak diiring dan tidak diimbangi dengan peningkatan kualitasnya. Saya meyakini, citra jurnalis akan buruk dan semakin terpuruk, bila tanpa solusi.

Semoga keyakinan saya tersebut tidak menjadi kenyataan, kelak. ☆☆

_Catatan:_
Yunanto alumni Sekolah Tinggi Publisistik – Jakarta; mantan wartawan Harian Sore “Surabaya Post” (1982 – 2002).

Artikel ini telah dibaca 76 kali

Baca Lainnya

Pengajian Eksekutif Malang Raya Luncurkan Strategi Kembangkan Potensi Zakat di Jatim

12 Februari 2024 - 11:26 WIB

Amin Balbaid Dampingi Anies Baswedan Sambang Kiai Kota Malang

9 Oktober 2023 - 16:30 WIB

Mie Gacoan Hadir untuk Memberikan Peluang Kerja Warga Lokal

9 Agustus 2023 - 07:02 WIB

Ini Dia Fakta Unik Tentang Bakso Malang

2 Mei 2023 - 11:19 WIB

Peduli Korban Banjir, MPM Honda Jatim Salurkan Bantuan dalam Program MPM Berbagi

9 November 2022 - 13:13 WIB

Workshop Jurnalistik Ramaikan Asia Career Expo 4

17 Oktober 2022 - 21:25 WIB

Trending di Kabar Kampus