Jakarta (Kabarpas.com) – Tak terasa nanti malam sudah memasuki Nisfu Sya’ban atau pertengahan bulan sya’ban. Ada beberapa tradisi yang biasa dilakukan sebagian besar umat Islam pada malam Nisfu Sya’ban tersebut.
Nah, berikut ini sejumlah tradisi umat Islam yang biasa dilakukan pada malam Nisfu Sya’ban, sebagaimana yang dikutip dari datdut.com
1. Berziarah Kubur atau Nyadran
Menjelang bulan suci Ramadhan, banyak umat Islam yang berziarah ke makam keluarga, terutama orangtua. Orang Jawa menyebutnya dengan istilah nyadran. Memang sebaiknya ziarah tidak hanya bulan Sya’ban saja. Namun, bukan berarti ziarah kubur atau nyadran pada bulan ini tidak pernah dilakukan Rasulullah Saw.
Dalam kitab Latha’if al-Ma’arif, al-Hafidz Ibnu Rajab juga mengatakan, sebagian hadis-hadis (tentang keutamaan nishfu Sya’ban) disahihkan oleh Ibn Hibban dan diriwayatkan dalam Sahih Ibnu Hibban. Hadis terbaik di antara hadis-hadis tersebut adalah hadis Aisyah yang berkata, “Aku kehilangan Nabi, lalu aku keluar mencarinya, ternyata beliau ada di makam Baqi’, sedang mengangkat kepalanya ke langit…”
Kutipan tersebut menegaskan bahwa Rasulullah pada malam tanggal 15 Sya’ban datang ke makam al-Baqi’.
2. Perbanyak Zikir dan Doa
Keutamaan bulan Sya’ban berpuncak pada malam Nishfu Sya’ban. Pada malam itu banyak Muslim yang menghidupkannya dengan berbagai ibadah. Bahkan, mengadakan majelis sebagai wadah untuk melakukan dzikir dan doa.
Dari Ali bin Abi Thalib secara marfu’ bahwa Rasululah Saw. bersabda, “Bila datang nishfu Sya’ban, maka bangunlah pada malamnya dan berpuasalah siangnya. Sesungguhnya (rahmat atau malaikat) Allah Swt. turun pada malam itu sejak terbenamnya matahari kelangit dunia dan Allah berfirman, ‘Adakah orang yang minta ampun, Aku akan mengampuninya. Adakah yang minta rezeki, Aku akan memberinya rezeki. Adakah orang sakit, maka Aku akan menyembuhkannya,’ hingga terbit fajar,’” (HR Ibnu Majah).
Adapun perkumpulan pada malam Nishfu Sya’ban memang belum ada pada masa Rasulullah Saw. Tradisi ini mulai tumbuh pada generasi tabiin. Sehingga tradisi ini masih merupakan peninggalan para salaf. Seperti disampaikan al-Hafidz Ibnu Rajab dalam Latha’if al-Ma’arif, hlm. 264 bahwa tradisi ini, dilakukan salah satu tokoh tabiin, Abdurrahman bin Yazid.
3. Salat Sunnah Mutlak pada Malam Nisfu Sya’ban
Sebagaimana dicantumkan dalam Keputusan Lembaga Bahtsul Masail NU Kota Surabaya di Masjid at-Taqwa, Penjaringansari, Rungkut Surabaya, pada 29 Juni 2008 bahwa shalat sunah mutlak pada malam nishfu Sya’ban adalah mustahab (dianjurkan). Namun, bila diniatkan sebagai salat Nishfu Sya’ban, maka haram karena tidak ada tuntutan salat Nishfu Sya’ban. Salah satu referensi keputusan ini merujuk kepada pendapat Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki dalam Dzikriyyat wa Munasabat, hlm. 155-156 yang menukil hadis riwayat al-Baihaqi.
“Dari ‘Ala’ bin Kharits bahwa Aisyah berkata, “Rasulullah bangun di tengan malam kemudian beliau salat, kemudian sujud sangat lama, sampai saya menyangka bahwa beliau wafat. Setelah itu saya bangun dan saya gerakkan kaki Nabi dan ternyata masih bergerak. Kemudian Rasul bangkit dari sujudnya. Setelah selesai melakukan shalat Nabi berkata, ‘Wahai Aisyah, apakah kamu mengira aku berkhianat padamu?’, Saya berkata ‘Demi Allah, tidak, wahai Rasul. Saya mengira engkau telah tiada karena sujud terlalu lama.’
Rasul bersabda, ‘Tahukah kamu malam apa sekarang ini?’ Saya menjawab, ‘Allah dan Rasulnya yang tahu.’ Rasulullah bersabda, ‘Ini adalah malam Nishfu Sya’ban. Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla memperhatikan hamba-hamba-Nya pada malam Nishfu Sya’ban, Allah akan mengampuni orang-orang yang meminta ampunan, mengasihi orang-orang yang meminta dikasihani, dan Allah tidak akan mengutamakan orang-orang pendendam.’ (HR. al-Baihaqi fi Syu’ab al-Iman, no. 3675). (***/tin).