Surabaya, Kabarpas.com – Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (UNUSA), Prof. Dr. Ir. Achmad Jazidie, M.Eng, menegatakan, kampus menjadi bagian penting dalam menyampaikan berbagai gagasan dan pemikiran yang berbeda. Karena, dengan forum bebas, dunia akademik akan terus berkembang sesuai khittahnya.
“Para pakar sejarah yang saling menyampaikan pandangan berbeda makin memperkaya perspektif atas pembahasan suatu masalah. Dengan terus-menerus menghargai perbedaan, kita akan mampu keluara dari tempurung yang membelenggu. Bahkan, kita bisa terhindari (maaf) masturbasi pemikiran, yang hanya bisa kita nikmati sendiri,” tutur Prof Jazidie, dalam FGD membahas rancangan penulisan buku “Resoloesi Djihad NU, Perang Sabil di Surabaya 1945” karya Riadi Ngasiran, di kampus setempat di Surabaya.
“Para peneliti dan sejarawan dari kalangan Nahdliyin saat keluar dari keterkungkungan itu, agar mampu menjadi bagian dari arus umum pemikiran di negeri ini. Artinya, kita meletakkan pijakan berpikir objektif sesuai kaidah-kaidah ilmiah,” tuturnya.
Rancangan penulisan buku “Resoloesi Djihad NU, Perang Sabil di Surabaya 1945” karya Riadi Ngasiran, dibahas sejumlah pakar sejarah. Mereka adalah Adrian Perkasa PhD, KH DR Ahmad Baso, DR Zainul Milal Bizawie, Prof DR Peter Carey dan Ady Erlianto Setyawan ST. Dalam FGD yang dihadiri sejumlah akademisi, birokrat Pemkot Surabaya dan perwakilan NU Jawa Timur, H Sholeh Hayat.
FGD dimoderatori Musthofa, peneliti sejarah alumnus Universitas Thailand, dan pimpinan UNUSA. Selain Rektor, juga Ir. KH. Muhammad Faqih, MSA, Ph.D, dan drg. Umi Hanik, M.Kes (keduanya, Wakil Rektor UNUSA)
Adrian Perkasa, tengah memperdalam ilmunya di Belanda dan aktif di PCINU Belanda, mengingatkan pentingnya pendalaman dalam penulisan kajian tersebut. Misalnya, soal perlawanan KH M Hasyim Asy’ari terhadap Belanda dan pendudukan Jepang.
“Disebutkan perlawanan Kiai Hasyim saat pendudukan Jepang dengan menolak seikeri atau menundukkan kepala ke arah matahari. Tapi, disebutkan juga Kiai Hasyim menerima jabatan sebagai kepala Syumubu (Kepala Kantor Urusan Agama) menggantikan Husein Djajadiningrat. Ini harus ada penjelasan rinci,” tutur Adrian, yang juga dosen Universitas Airlangga Surabaya.
Sementara itu, Prof Peter Carey menegaskan tak ada tindakan tanpa adanya komando yang jelas. Orang-orang Islam berhasil digerakkan dengan kekuatan radio oleh Bung Tomo. Sehingga, arah pertempuran berhasil dikomando dengan teriakan pidato radio yang bisa menggerakkan massa.
“Kebetulan kami sedang menyiapkan seri kedua dari buku Gelora Api Revolusi, yang pernah menjadi serial radio BBC bersama Colin Wild. Kami mempunyai dokumentasi wawancara dengan sejumlah tokoh yang terlibat langsung semasa Revolusi Indonesia,” tambah Peter Carey, yang memfokuskan kajiannya Perang Diponegoro dan berhasil menghimpun kajian dalam tiga jilid buku berjudul “Kuasa Ramalan”.
*Menggugat Pemkot Surabaya*
Riadi Ngasiran, melalui rancangan bukunya itu menyampaikan, lebih dari sepuluh kiai dan tokoh Nahdlatul Ulama telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Merupakan suatu pengakuan resmi atas perjuangan dan pengabdian para ulama pesantren itu kepada bangsa dan negara. Khususnya pada saat perjuangan kemerdekaan dan saat-saat genting dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
“Sayang, Membaca buku ‘Pasak Sejarah Indonesia Kekinian, Surabaya 10 Nopember 1945’, diterbitkan Bagian Humas Pemkot Surabaya pada 2018, tak satu pun menyebut (tak memuat Resolusi Djihad NU) lokasi bersejarah dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia itu,” tuturnya.
Padahal, Gedung Monumen Resolusi Djihad NU yang kini menjadi bangunan cagar budaya yang dilindungi Pemerintah Kota Surabaya. Bahkan, pada masa Wali Kota Tri Rismaharini, dalam setiap menjelang Hari Pahlawan, diadakan Sekolah Kebangsaan, yang dihadiri para siswa terpilih dari SMA-SMA terkemuka di Surabaya.
“Dalam kegiatan serupa yang juga digelar di sejumlah lokasi bersejarah seperti Don Bosco dan Tugu Pahlawan, yang menjadi narasumber adalah para veteran pejuang, di antaranya mantan Ketua Dewan Harian Daerah Angkatan ‘45, H. Hartoyik (almarhum),” tutur Riadi Ngasiran.
Disebutkan, nama-nama Pahlawan Nasional dari kalangan NU. Seperti K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari dan K.H. Abdul Wahid Hasyim, keduanya dari Pesantren Tebuireng Jombang. K.H. Zainal Musthafa, K.H. Idham Chalid, K.H. Abdul Wahab Hasbullah, K.H. As’ad Syamsul Arifin, K.H. Syam’un, K.H. Masjkur, dan K.H. Abdul Chalim Leuwimunding. Belum lagi nama Andi Mappanyukki (Sulsel) dan Usmar Ismail (tokoh perfilman dan Bapak Perfilman Indonesia, Pendiri Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia).
Apalagi, tanggal 22 Oktober telah ditetapkan sebagai Hari Santri sejak 1915, toh eksistensi Resolusi Djihad NU yang terbit pada tanggal 22 Oktober 1945 dari pertemuan para kiai wakil konsul NU se-Jawa dan Madura, eksistensi Resolusi Jihad NU masih disamarkan — bahkan mungkin dinafikan — dalam penulisan sejarah.
Demikian pula, Gedung kantor Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kota Surabaya, Jalan Bubutan VI/2 – tempat dicetuskannya Resolusi Djihad NU itu — telah ditetapkan pemerintah kota setempat sebagai situs cagar budaya dan berdiri Prasasti Monumen Resolusi Djihad NU sejak 2011, pun diabaikan datanya. Artinya, dinafikan perjuangan NU dan ulama, dari buku yang diterbitkan resmi oleh Pemkot Surabaya.
Ada bukti, pengakuan Pemerintah Kota Surabaya atas gedung Monumen Resolusi Djihad NU sebagai situs cagar budaya.
Sejumlah pengamat dan sejarawan memang sempat meragukan keberadaan naskah Resolusi Jihad NU. Namun, pemuatan berita soal sikap dan kebijakan organisasi Islam yang didirikan para ulama pesantren, termasuk K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Abdul Wahab Hasbullah, di suratkabar yang terbit pada masa itu menjadi bukti tak terbantahkan. Dimuat dalam harian Kedaulatan Rakjat, 26 Oktober 1945.
Resolusi Djihad NU, yang diawali dengan Fatwa Djihad Rais Akbar Nahdlatul Ulama Hadlratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari, mendapat sambutan dari pelbagai masyarakat secara luas, terutama umat Islam. Kini, tepat pada tanggal 22 Oktober dirayakan sebagai Hari Santri yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden pada tahun 2015.
Untuk sekadar diketahui, Riadi Ngasiran menggeluti profesi sebagai Jurnalis dan Penulis. Aktif di sejumlah organisasi, termasuk Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang kritis di akhir masa Orde Baru.
Selain pernah menjadi Ombudsmen AJI Surabaya, juga Penguji Kompetensi Jurnalis – Dewan Pers dari Aliansi Jurnalis Independen. Ketika Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) Nahdlatul Ulama Kota Surabaya (2010-2015), berperan dalam pendirian Prasasti Monumen Resolusi Djihad NU.
Sejumlah karyanya, termasuk buku berjudul Kesabaran Revolusioner Djohan Sjahroezah: Pejuang Kemerdekaan Bawah Tanah (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2015), dan Sejarah Muslimat NU Cabang Surabaya (2016).
Sejumlah buku pun berhasil dieditori, termasuk di antaranya, Visi dan Aksi: Merespon Globalisasi, Menawarkan Solusi (2013) dan Islam, NU dan Keindonesiaan (2013) – keduanya karya Khofifah Indar Parawansa — disunting bersama Endang Wahyuni.
Minatnya pada sastra, melalui karyanya Patung-Patung Impian: Mitos-Mitos Kebudayaan. Kini, selain aktif Nahdlatul Ulama, juga sebagai Kepala Bidang Media – Komunikasi – Hukum, Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Timur. (***/hib).