Oleh: Nur Indah Sutriyah
Di Watu Agung, malam menjelma menjadi sajadah
di mana langit menitikkan doanya dalam bentuk hujan
embusan angin menyatu dalam simfoni sunyi
mengiringi langkah langkah putih yang tiba tanpa suara
mereka adalah para pejalan cahaya
yang haus akan segala rindu
duduk bersila di bawah cahaya rembulan
yang merunduk, mendengarkan manaqib dibaca perlahan
lantunan Maulidur Rasul mengalir serupa sungai nurani
menggema di sela sela batu dan pepohonan
hingga setiap dedaunan turut bershalawat
dan langit pun menunduk
meneteskan rahmatnya satu per satu
maka setiap tetes air hujan yang jatuh di helai helai kain putih itu
adalah saksi bisu dari dzikir yang disemai
dan petrikor suci itu adalah wewangian jiwa
yang menguar di bawah teduhnya payung emas Al-Khidmah.
wajah wajah bersih menengadah
bukan untuk menantang hujan
tetapi menyambutnya sebagai ciuman rahmat
dari langit yang turut bersaksi malam itu
malam pun tak lagi kelam
ia bersalin rupa menjadi pelita
karena ruh ruh cinta telah menyala
menjadi api suci dalam dada dada putih
dan langit mencatat semuanya dalam lembar catatan ghaib
bahwa di Watu Agung, pada malam yang basah
telah dilantunkan nama nama suci
dengan balutan kasih yang tak akan pernah mati
_____________________________
*Setiap Minggu Kabarpas.com memuat rubrik khusus “Nyastra”. Bagi Anda yang memiliki karya sastra, baik berupa cerita bersambung (cerbung), cerpen maupun puisi. Bisa dikirim langsung ke email kami: redaksikabarpas@gmail.com atau japri ke nomor wa +62 851-6144-0488.*



















