Jember, Kabarpas.com – Dalam konsep awalnya, J-Keren diharapkan menjadi jaminan kesehatan daerah. Rumah sakit ditugasi memberikan layanan kepada masyarakat, sementara anggarannya disediakan dari APBD dan sebagian dari dana BLUD.
Pada masa awal pelaksanaannya, semua berjalan lancar. Dinas Kesehatan rutin membayar tagihan layanan, rumah sakit beroperasi normal, dan masyarakat menikmati manfaatnya.
Tapi seiring waktu, keseimbangan antara pelayanan dan kemampuan anggaran mulai goyah.
Pembayaran mulai tersendat, sementara jumlah pasien terus bertambah. Rumah sakit tetap melayani, karena yang datang bukan hanya masyarakat Jember, tetapi juga dari kabupaten sekitar seperti Banyuwangi, Lumajang, Situbondo, dan Bondowoso.
Akhirnya, piutang pun menumpuk. Tahun 2022 tercatat sekitar Rp35 miliar, 2023 juga Rp35 miliar, dan pada 2024 melonjak hingga Rp76 miliar. Totalnya kini mencapai Rp109 miliar hanya untuk RSD dr. Soebandi. Belum termasuk dua rumah sakit daerah lainnya.
Sebagai rumah sakit rujukan utama untuk tujuh kabupaten/kota di kawasan Tapal Kuda, RS dr. Soebandi Jember menjadi pihak paling terdampak.
Jumlah pasiennya paling banyak, baik di poli, rawat jalan, maupun rawat inap. Kasus-kasus yang ditangani pun tergolong berat karena banyak yang merupakan rujukan dari rumah sakit tipe C.
Semakin banyak pasien, semakin tinggi pula biaya operasional yang harus dikeluarkan. Namun karena pembayaran dari program J-Keren tersendat, rumah sakit mulai kesulitan menjaga keseimbangan finansial.
Dampak dari utang ini tak hanya terasa di meja direktur, tetapi langsung menghantam layanan kesehatan masyarakat.
Rasio kas (cash ratio) rumah sakit menurun drastis. Akibatnya, rumah sakit kesulitan membeli alat kesehatan, membayar bahan habis pakai, hingga menyediakan obat-obatan penting.
Yang paling sensitif adalah soal obat untuk pasien kronis seperti kanker. Tanpa obat kemoterapi, penyakit bisa menyebar cepat dan membahayakan nyawa.
Kekosongan stok obat juga membuat dokter spesialis berada dalam dilema etik. Mereka tahu harus memberikan perawatan sesuai standar, namun realitas di lapangan memaksa mereka berkompromi. Jika pelayanan tidak sesuai panduan praktik klinis, masyarakat berhak menuntut.
Masalah tidak berhenti di situ. Rekanan farmasi yang memasok obat kini banyak yang menghentikan kerja sama.
Pembayaran yang tertunda membuat rekanan menolak kirim obat lagi. Bahkan untuk mencari rekanan baru pun sulit, karena reputasi belum bayar sudah terlanjur tersebar.
Kondisi keuangan yang terpuruk membuat rumah sakit sulit melakukan pengembangan. Cash ratio yang kecil membuat mereka tak sanggup membangun gedung baru, membeli alat modern, atau memperluas layanan. Padahal, sebagai rumah sakit rujukan regional, RS dr. Soebandi seharusnya mampu melayani pasien dari tujuh kabupaten dengan fasilitas memadai.
Di tengah situasi itu, masyarakatlah yang paling merasakan dampaknya.
Pada akhirnya, tujuan J-Keren untuk memberi kemudahan justru berbalik menjadi kesulitan baru bagi masyarakat sendiri.
Pengalaman pahit ini seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah daerah.
Program yang tampak keren di awal tidak akan bertahan lama tanpa perencanaan anggaran yang realistis dan mekanisme kontrol yang ketat.
Program populis tidak boleh menipu rakyat dengan kebaikan sesaat. Karena ketika anggaran tak sanggup menanggung janji, yang jatuh bukan hanya neraca keuangan, tapi juga kepercayaan publik dan integritas pelayanan publik.
Kini, di bawah kepemimpinan baru (Bupati Fawait), pemerintah daerah mulai menata kembali sistem layanan kesehatan melalui program Universal Health Coverage (UHC).
Pendapatan rumah sakit mulai meningkat, dan perlahan, luka J-Keren berusaha disembuhkan. Tapi luka sosial dan reputasional yang ditinggalkan program itu tak mudah dihapus.
J-Keren mungkin tampak “keren” di masa awalnya. Penuh slogan, penuh tepuk tangan. Tapi di balik semua itu, ada utang yang menggunung, rekanan yang kecewa, dan masyarakat yang akhirnya kembali menjadi korban.
Kesehatan adalah hak dasar rakyat, tapi juga tanggung jawab besar pemerintah. Karena itu, setiap program kesehatan seharusnya tidak hanya keren di nama, tapi juga kokoh di perencanaan dan berkelanjutan dalam pelaksanaan. (dan/ian).