Menu

Mode Gelap
Wujudkan Mimpi Pebasket Muda Jatim, MPM Honda Jatim Gelar Honda DBL 2023 East Java Series Dukungan Mas Dion Maju Cabup Pasuruan 2024 Kian Masif

Kabar Terkini · 9 Nov 2025

Menilai Sejarah Secara Utuh: Saatnya Bangsa Membaca Kembali Warisan Soeharto dengan Kedewasaan Kolektif


Menilai Sejarah Secara Utuh: Saatnya Bangsa Membaca Kembali Warisan Soeharto dengan Kedewasaan Kolektif Perbesar

Oleh : Prof. Dr. Murpin Josua Sembiring. M.Si
(Guru Besar Universitas Ciputra Surabaya).

 

KABARPAS.COM – DALAM perjalanan bangsa, setiap era kepemimpinan selalu meninggalkan dua sisi: jasa dan
luka. Tidak ada pemimpin yang sepenuhnya tanpa cela, sebagaimana tidak ada pemimpin yang seluruh kontribusinya dapat dihapus begitu saja. Karena itu lah, penilaian terhadap
sosok dalam sejarah membutuhkan kedewasaan kolektif, kemampuan untuk melihat secara utuh, bukan hitam-putih. Dalam konteks inilah wacana mengenai pengusulan Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, sebagai Pahlawan Nasional, perlu ditempatkan sebagai ruang perenungan nasional yang rasional, bukan emosional. Dasarnya jelas: UU No: 20 Tahun 2009 mengatur bahwa gelar Pahlawan Nasional diberikan kepada tokoh yang berjasa luar biasa, dengan pertimbangan sejarah, akademik, dan moral. Artinya, pembahasan ini bukan perkara politik sesaat, tetapi bagian dari cermin bagaimana bangsa ini memahami dirinya sendiri. Kedewasaan sejarah justru terletak pada kemampuan untuk melihat seluruh spektrum pengalaman bangsa secara jernih dan visioner. Membaca Konteks: Indonesia Pasca 1965 Pada 1965–1966, Indonesia berada di tepi jurang perpecahan dalam sejarah modernya.

Krisis ekonomi Inflasi melampaui 600%, cadangan negara menipis, dan instabilitas polarisasi politik hampir memecah (disintegrasi nasional). Dalam situasi genting ini sosok Soeharto muncul sebagai figur sentral stabilisasi negara. Soeharto membangun ulang struktur administrasi, mengembalikan kepercayaan dunia internasional, dan meletakkan dasar pembangunan jangka panjang. Dari sinilah lahir program swasembada beras, pembangunan irigasi dan waduk, puskesmas dan posyandu, elektrifikasi desa, serta sejumlah proyek infrastruktur dasar yang membuka akses pelayanan kesehatan dan pendidikan di seluruh pelosok negeri. Di banyak keluarga Indonesia, dampaknya nyata dan langsung terasa. Sejumlah kajian
ekonomi dan sejarah pembangunan memotret periode ini sebagai fase modernisasi institusi negara yang penting bagi masa depan Indonesia sebagai negara berkembang dengan kapasitas industrial.

Narasi ini bukan glorifikasi, melainkan fakta pembangunan yang disepakati banyak sejarawan dan ilmuwan kebijakan. Sejumlah indeks ekonomi menunjukkan perubahan signifikan pada tiga dekade tersebut: pertumbuhan ekonomi rata-rata tinggi, fondasi industri strategis terbentuk, dan Indonesia mulai diakui dalam percaturan kawasan melalui pendirian ASEAN. Poin-poin kontribusi ini tercatat sebagai “jasa strategis” dalam banyak kajian akademik dan juga tercerminat dalam narasi yang tersusun pada dokumen argumentatif yang menjadi bahan diskursus akademik mengenai Soeharto. Tetapi Sejarah Tidak Berhenti di Satu Warna Sejarah juga mencatat adanya sisi gelap dalam rezim Orde Baru: pembatasan kebebasan sipil, kekuasaan yang terpusat, kekerasan politik, dan praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang menguat pada fase akhir kekuasaan. Reformasi 1998 lahir sebagai koreksi atas hal-hal tersebut. Mengakui ini bukan bentuk pelemahan bangsa. Justru, bangsa yang memilih untuk jujur terhadap sejarahnya adalah bangsa yang matang secara moral dan politik.

Di titik inilah kedewasaan dibutuhkan: mengingat jasa tanpa meniadakan luka; mengakui luka tanpa menghapus kontribusi yang nyata. Belajar dari Negara Lain: Antara Penghormatan dan Luka Banyak negara mengalami dilema serupa mengenai penilaian ulang terhadap pemimpin masa lalu. Filipina, misalnya, menghadapi perdebatan panjang tentang Ferdinand Marcos. Ia akhirnya diizinkan dimakamkan di Heroes’ Cemetery karna rakyatnya menyimpulkan jasa besarnya antara lain : Program “Green Revolution” dan Swasembada Beras; Program Modernisasi PertahananPembangunan Infrastruktur (Jembatan San Juanico Philippine Heart Center, Lung Center, Kidney Center dll) Skala Besar (1965–1975).Penyikapan pemerintah membingkai keputusan itu sebagai langkah rekonsiliasi memori bangsa, bukan pemutihan sejarah. Tiongkok memperlakukan Mao Zedong sebagai pendiri negara, namun tetap mengakui kesalahan kebijakan seperti Great Leap Forward. Ingatan kolektif masyarakat Tiongkok terhadap Mao bertahan bukan karena ia tanpa cela, tetapi karena rakyat menilai fondasi negara modern berdiri atas kepemimpinannya. Pelajaran pentingnya adalah: Bangsa besar tidak melupakan luka, tetapi juga tidak kehilangan kemampuan untuk menghormati jasa mantan Presidennya. Bagaimana Indonesia Dapat Bersikap Dewasa?

Saatnya bangsa ini mempertimbangkan pengusulan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional, ada pendekatan yang rasional dan sesuai etik konstitusional. Penilaian akademik independen , transparansi sejarah: membuka arsip, bukan menutupinya, ketiga penghormatan kepada korban: negara harus mengakui dan memberi ruang penyembuhan, dan pemisahan antara pengakuan jasa dan penyucian moral pribadi. Dengan pendekatan ini, pemberian gelar bukan pemutihan dan bukan penghapusan luka maka ia menjadi tindakan rekonsiliasi memori nasional. Rekonsiliasi tidak berarti lupa namun rekonsiliasi berarti kita memilih untuk memahami dan maju sebagai bangsa yang utuh. Rekonsiliasi Bukan Pemutihan Sejarah. Mengapa Wacana Ini Penting untuk Masa Depan Bangsa? Karena bangsa yang kehilangan kemampuan menilai sejarah secara holistik akan terus terjebak pada politik dendam dan nostalgia yang buntu/berkepanjangan kontraproduktip. Generasi muda, para aktivis, akademisi, para pebisnis dan seluruh rakyat Indonesia berhak memperoleh sejarah yang jujur: Bahwa Soeharto pernah membangun negeri ini dengan capaian nyata yang mengubah hidup rakyat luas, sekaligus bahwa kekuasaan tanpa kontrol membawa risiko penyimpangan yang besar. Keduanya benar. Keduanya perlu diajarkan. Keduanya yang menjadikan bangsa ini tumbuh dewasa. Pada era Presiden Gus Dur, ia berupaya membuka lembar keputusan yang sulit saat itu yaitu rekonsiliasi nasional atas sejarah kelam masa lalu terkait konflik dan stigma seputar Soeharto, PKI, serta keluarga dan kelompok-kelompok yang terlibat, demi membangun persatuan bangsa. Rekonsiliasi adalah ikhtiar untuk memahami secara utuh, mengakui kebenaran dari dua sisi sejarah, dan membiarkan bangsa ini melangkah maju tanpa membawa beban dendam yang diwariskan lintas generasi.

Saatnya Kita Menjadi Bangsa yang Dewasa dalam Mengingat Meskipun Gus Dur tokoh nasional yang paling keras mengkritik pemerintahan Soeharto dan menilai sarat korupsi, kekerasan politik, serta pembungkaman demokrasi, Orde yang menciptakan budaya ketakutan era tahun 1999–2001, Gusdur justru mengambil langkah moral rekonsiliasi yang tersulit untuk mengajak bangsa ini berani keluar dari budaya kebencian. Salah satu bentuk paling spektakuler adalah pencabutan larangan dan pembatasan politik terhadap keluarga Soeharto, termasuk tidak menjadikan mereka “musuh negara” setelah jatuhnya Orde Baru. Gus Dur menolak melakukan “politik balas dendam terhadap keluarga Soeharto.

Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto jika suatu saat diputuskan harus dipahami bukan sebagai penilaian bahwa beliau sempurna, melainkan sebagai pengakuan bahwa: Ada peran penting dalam menyelamatkan dan membangun republik ini pada masa paling genting dalam sejarahnya. Dan pada saat yang sama: ada pelajaran penting tentang bahaya kekuasaan yang tak terkendali, yang harus dijaga kita kontrol bersama agar tak terulang kembali. Bangsa besar bukan bangsa yang melupakan, bukan pula bangsa yang menolak berdamai dengan sejarah tokoh-tokoh besar bangsanya sendiri. Bangsa besar adalah bangsa yang mampu berkata: “Kami menghormati jasa. Kami mengakui luka. Dan kami memilih untuk belajar dari keduanya.” Itulah langkah menuju Indonesia yang matang, adil, dan berdaulat atas ingatannya sendiri. “Bangsa ini tidak akan pernah benar-benar maju sebelum berani berdamai dengan masa lalunya sendiri.” Mari bangsa ini menatap betapa indah sejahteranya Indonesia Emas nanti di 2045 mendatang”. (***).

Artikel ini telah dibaca 22 kali

Baca Lainnya

Bahrudien Akbar Terpilih Jadi Ketua GP Ansor Kota Pasuruan Masa Khidmad 2025-2029

9 November 2025 - 22:24

KAI Daop 8 Surabaya Hadirkan KA Tambahan Selama November 2025, Perjalanan Semakin Fleksibel dan Nyaman

9 November 2025 - 20:59

Weekend Seru Bersama New Honda ADV160, Lady Bikers Jelajahi Heritage Kota Surabaya

9 November 2025 - 12:17

Sekda Jupriono Paparkan Deretan Agenda Akhir Tahun Jember di Pro Gus’e Update

9 November 2025 - 09:57

Data Calon Penerima Beasiswa Cinta Bergema Dibuka ke Publik, Pemkab Jember Ajak Warga Ikut Mengawasi

9 November 2025 - 09:55

Kembali Terpilih, Tri Basuki Siap Kibarkan Prestasi KORMI Jember Lebih Tinggi

8 November 2025 - 15:58

Trending di KABAR NUSANTARA