Menu

Mode Gelap
Wujudkan Mimpi Pebasket Muda Jatim, MPM Honda Jatim Gelar Honda DBL 2023 East Java Series Dukungan Mas Dion Maju Cabup Pasuruan 2024 Kian Masif

Kabar Terkini · 8 Nov 2025

Uang Bau Rp250 Ribu: Harga Murah untuk Menukar Hak Hidup Sehat 


Uang Bau Rp250 Ribu: Harga Murah untuk Menukar Hak Hidup Sehat  Perbesar

Oleh: FADHIL MUHAMMAD
*Direktur Monitoring dan Analisis
Local Goverment Studies (Logos)

 

KABARPAS.COM – DI balik pembangunan perumahan mewah dan mal yang terus bertambah di Tangerang Selatan, ada pemandangan yang tak sepadan: gunungan sampah yang membusuk hingga meresap ke perut bumi. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cipeucang, yang mestinya menjadi penopang sanitasi kota, telah berubah menjadi sumber ancaman bagi air tanah, sumber kehidupan yang sehari-hari diandalkan warga.

Di beberapa rumah warga di pinggiran Tangerang Selatan itu, air sumur kini punya aroma khas: sedikit amis, agak manis, dan beraroma seperti limbah organik. Warga menyebutnya “air wangi dari Cipeucang”. Sebuah ironi, karena yang kita bicarakan bukan parfum, melainkan hasil dari tata kelola sampah yang gagal menghormati hukum alam. Ketika sampah menyapa air tanah TPA Cipeucang awalnya digadang sebagai solusi pengelolaan sampah kota Tangerang Selatan.

Namun sejak peristiwa longsornya dinding TPA ke Sungai Cisadane pada Mei 2020, aroma busuk persoalannya tak pernah benar-benar pergi. Sampah yang seharusnya dikelola dengan sistem sanitary landfill, yakni metode yang mengisolasi limbah dari tanah dan air, malah lebih sering ditimbun seadanya.
Fakta ilmiah menunjukkan temuan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengonfirmasi adanya indikasi pencemaran air tanah di sekitar TPA Cipeucang akibat rembesan lindi, cairan berbahaya yang terbentuk dari pembusukan sampah. Ini bukan sekadar bau yang mengganggu, ini adalah sinyal adanya perubahan kimia pada air tanah yang bisa menimpa kesehatan publik jangka panjang. Namun hingga hari ini, suara masyarakat tentang air yang berubah warna dan rasa hanya dianggap keluhan minor bukan sinyal bahaya ekologis.

Sampah dan kebijakan setengah matang
Pemerintah mengakui adanya dampak dan menyiapkan sejumlah intervensi, termasuk rencana investasi untuk fasilitas pengolahan akhir sampah. Namun sampai program besar itu benar-benar berdiri dan berfungsi, yang diterima warga adalah kompensasi tunai simbolis, yang oleh warga disebut “uang bau” sebesar Rp250.000 per tahun.

Menariknya, pemerintah menyatakan angka itu sesuai kemampuan anggaran daerah. Terjemahnya: nyawa warga
berpijak pada ketersediaan belanja di anggaran pemerintah. Memberi kompensasi adalah langkah yang lazim dalam skenario dampak lingkungan, tetapi nilai kompensasi harus proporsional dengan risiko dan biaya nyata yang ditanggung masyarakat: biaya membeli air galon, pengobatan, penurunan produktivitas kerja, dan hilangnya nilai aset (sumur dan tanah). Ketika kompensasi hanya Rp250.000 per KK per tahun, itu bukan pengakuan atas kerugian, itu penghinaan terselubung terhadap hak atas lingkungan hidup yang sehat. Menurut logika ekonomi lingkungan sederhana: jika biaya nyata lebih besar dari kompensasi, maka kompensasi tersebut tidak adil dan kebijakan gagal memenuhi prinsip pemulihan dan keadilan.

Yang lebih menyedihkan: klaim adanya distribusi bantuan air bersih kerap dibantah oleh warga yang mengatakan mereka sama sekali tak menerima suplai tersebut. Ini menunjukkan masalah tata kelola, bukan hanya teknis pengolahan sampah, melainkan kegagalan administrasi, transparansi, dan akuntabilitas. Ketika warga harus membeli air galon sendiri sementara sumur mereka tercemar, itu jelas bukan hanya masalah kualitas layanan, itu masalah hak asasi.

Masyarakat sekitar Cipeucang bukan anti pembangunan. Mereka hanya ingin air bersih, hak paling dasar yang dijamin konstitusi. Namun, partisipasi publik dalam tata kelola TPA nyaris nihil. Tak ada forum konsultasi rutin, tak ada sistem pelaporan lindi, apalagi kompensasi lingkungan yang hanya 250 ribu per tahun. Dalam kerangka Environmental Justice, ini bentuk ketimpangan klasik: mereka yang paling sedikit menghasilkan sampah justru menanggung beban paling besar dari salah kelola ini.

Jawaban atas Masalah Pembiayaan
Pemerintah sering berdalih keterbatasan anggaran sebagai penghalang. Tapi masalahnya bukan hanya uang, melainkan visi. Pengelolaan sampah di daerah ini tak pernah dilihat sebagai peluang ekonomi dan investasi. Padahal, solusi masalah ini bisa dimulai dengan penyusunan Investment Project Ready to Offer (IPRO), dokumen yang merinci potensi proyek pengelolaan sampah agar dapat ditawarkan ke investor swasta atau skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU).

Jika Tangerang Selatan serius, seharusnya ada IPRO untuk pengelolaan sampah Cipeucang: berisi analisis teknis, potensi waste to energy, potensi daur ulang, serta nilai ekonomi dari pengurangan emisi. Dengan IPRO, pengelolaan sampah bisa dilihat bukan hanya sebagai beban, tapi peluang investasi berkelanjutan. Dalam konteks Cipeucang, IPRO akan menjadi dokumen hidup yang menuntut pertanggungjawaban: sejauh mana proyek pengelolaan sampah benar-benar menyelamatkan lingkungan, bukan sekadar memindahkan bau dari satu tempat ke tempat lain.

Jika pemerintah daerah ingin keluar dari ironi ini, langkah pertama bukan menambah janji, tapi membuka data. Audit lingkungan TPA Cipeucang harus dipublikasikan, hasil uji air tanah harus diumumkan, dan program pemulihan harus disusun dengan melibatkan warga serta akademisi independen. Setelah itu, penyusunan dokumen IPRO Pengelolaan Sampah Cipeucang menjadi keniscayaan, sebagai langkah strategis membuka kolaborasi investasi yang transparan, ramah lingkungan, dan akuntabel.

Menutup hidung atau membuka mata
Barangkali yang paling tragis dari semua ini adalah normalisasi. Warga mulai terbiasa dengan bau. Padahal setiap tetes air sumur yang tercemar adalah pengingat keras: kita gagal menutup siklus sampah, dan malah membuka siklus penyakit.

Mungkin, saat air sumur sudah terlalu “wangi” untuk diminum, baru kita sadar: yang busuk bukan hanya sampahnya, tapi sistemnya. Cipeucang adalah cermin: ketika kebijakan publik hanya berhenti di angka kompensasi, maka yang kita beli bukan solusi, melainkan kesenyapan. Dan air yang mengalir di rumah-rumah warga, perlahan menjadi saksi bisu betapa murahnya harga manusia di hadapan birokrasi yang menganggap bau sampah sebagai hal biasa. (***).

Artikel ini telah dibaca 33 kali

Baca Lainnya

Kembali Terpilih, Tri Basuki Siap Kibarkan Prestasi KORMI Jember Lebih Tinggi

8 November 2025 - 15:58

Kesiapan Venue Jadi Kunci, Jember Kalahkan Daerah Lain untuk Tuan Rumah FORPROV 2026

8 November 2025 - 15:32

FKUB Kota Pasuruan Gelar Sarasehan Lintas Agama Bertajuk tentang Perempuan Sebagai Agen Perdamaian

8 November 2025 - 15:25

Jember Ditunjuk Jadi Tuan Rumah FORPROV III 2026, Bukti Kepercayaan Jawa Timur di Era Bupati Fawait

8 November 2025 - 12:44

Seleksi Piala Gubernur Pesparawi Jatim 2025, Paduan Suara Gerejawi Jember Tampilkan Harmoni dan Semangat Kebersamaan

8 November 2025 - 11:21

Kepengurusan Pergunu Ancab Bangilan Terbentuk, Ini Sosok Wanita Tangguh yang Nahkodainya

8 November 2025 - 10:54

Trending di Berita Pasuruan