Jember, Kabarpas.com – Kecamatan Panti menyimpan tradisi tua yang kini kembali hidup, yaitu Ritual Tujuh Sumber Mata Air. Tradisi ini bukan sekadar ritual spiritual, tetapi juga cermin kesadaran ekologis dan budaya masyarakat pegunungan.
Irham, dari Komunitas Rumah Tunjung Indonesia sekaligus Karang Taruna Kecamatan Panti menyebut, setiap desa di Panti punya sumber air sendiri yang dijaga dengan cara berbeda. Dari situ muncul ide untuk mempertemukan semuanya dalam satu ritual.
Ritual diawali dengan tilik sumber, tradisi mengunjungi mata air yang dianggap memberi kehidupan bagi warga. Setiap desa memiliki sumber air dengan karakter dan sejarahnya masing-masing. Diantaranya, Sumber Tunjung di Desa Panti, Sumber Kembar di Pakis, Balong Keramat di Kemuningsari Lor, Sumber Waduk di Glagahwero, Sumber Suci di Desa Suci, Sumber Kemiri di Kemiri, dan Sumber Suko di Serut.
Dari tiap sumber, warga membawa kendi berisi air. Seluruhnya kemudian disatukan dalam gentong besar di titik akhir ritual. Setelah diaduk bersama, air dikembalikan ke kendi masing-masing desa.
“Proses penyatuan itu melambangkan bahwa seluruh desa berasal dari satu sumber kehidupan yang sama,” jelas Irham.
Dalam filosofi Jawa, angka tujuh (pitu) bermakna pitulungan, atau pertolongan. Maka, penyatuan tujuh sumber air menjadi simbol solidaritas dan keseimbangan hidup antarwarga desa.
Ritual ini tak sekadar upacara. Ia menjadi ruang ekspresi budaya yang menghidupkan gotong royong lintas generasi. Prosesi dilakukan dengan doa bersama, iring-iringan warga, dan penampilan kesenian lokal.
“Ritual ini kami hidupkan bukan hanya sebagai warisan, tapi juga ruang belajar budaya bagi anak muda,” tambah Irham.
Tradisi ini kemudian berkembang menjadi Festival Sumber Tunjung, yang menampilkan kekayaan alam, seni, dan kearifan lokal masyarakat Panti.
Balong Keramat, Wisata Religi dengan Karomah Penyembuhan
Salah satu titik yang paling menarik perhatian adalah Balong Keramat di Desa Kemuningsari Lor. Bagi warga, kolam ini bukan sekadar sumber air, tetapi tempat yang diyakini memiliki karomah penyembuhan.
“Banyak yang datang mengambil air Balong Keramat untuk pengobatan. Banyak pula kesaksian yang sembuh,” ujar Abdul Waqik, Kepala Desa Kemuningsari Lor.
Peziarah biasanya berkeliling tujuh kali di sekitar kolam sambil membaca kalimat thoyibah. Prosesi ini dipimpin langsung oleh pengasuh pondok pesantren Nurul Nahdlatul Arifin, tempat di mana Balong Keramat berada.
Setiap tahun, desa juga menggelar Haul Syech Haji Muhammad Nur, ulama yang dipercaya menjaga sumber ini. Kegiatannya dikemas dalam bentuk wisata religi kirab hasil bumi dari kantor desa menuju pondok pesantren.
“Pesertanya ribuan, tahun lalu mencapai 4.000 orang. Puncaknya bisa menarik 25.000 hingga 35.000 pengunjung dari berbagai daerah,” ungkap Waqik.
Kehadiran ribuan pengunjung membawa dampak ekonomi nyata. Ratusan pedagang kaki lima (PKL) meramaikan area sekitar. Pendapatan warga meningkat dua hingga tiga kali lipat saat acara berlangsung.
“Selain menjaga warisan spiritual, ini juga menggerakkan ekonomi warga. Inilah wujud wisata yang menyatukan budaya, religi, dan kesejahteraan,” kata Waqik.
Ke depan, komunitas bersama pemerintah desa berencana merancang paket wisata budaya tujuh sumber mata air, jalur wisata yang tidak hanya menampilkan panorama, tetapi juga cerita dan filosofi hidup masyarakat Argopuro.
Tujuh Sumber Mata Air di Kecamatan Panti kini berdiri bukan hanya sebagai simbol spiritual, tetapi juga model kolaborasi antara budaya, wisata, dan konservasi. Dari kaki Argopuro, warga belajar bahwa menjaga sumber air berarti menjaga kehidupan itu sendiri. (dan/ian).