Oleh: Rana
KABARPAS.COM – TANPA basa-basi, Ef langsung menyuruh Rea naik di boncengan belakang. Ef mengajak Rea ke sebuah cafe dengan pemandangan alam yang hijau. Rea suka dengan nuansa cafe terbuka yang berada di lantai dua. Dari atas dia bisa melihat hamparan pepohonan, menenangkan. Terdapat kursi berjajar yang diletakkan di depan pagar pembatas pendek tapi lebar, sehingga pengunjung yang duduk di sana bisa langsung melihat pemandangan sambil menikmati menu yang dipesan.
Tapi Rea tidak memilih duduk di sana karena saat itu masih siang, matahari sedang berkunjung. Dia memilih tempat duduk besi dengan sandaran. Dia dan Ef duduk berseberangan.
Setelah memilih tempat duduk, Rea memesankan minuman dan makanan.
“Kamu mau minum apa?” tanya Rea.
“Kopi hitam tanpa gula,” jawab Ef.
“Kenapa pesen kopi pahit?”
“Karena hidupku sudah cukup manis,” jawab Ef dengan filosofinya.
Rea cuma bisa tersenyum lalu melanjutkan bertanya “Makanannya?”
“Aku sudah kenyang, itu saja.”
“Baiklah.”
Rea menuju meja pesanan untuk memesan kopi pahit, kentang, dan jeruk hangat. Tidak ada inisiatif Ef untuk mentraktir Rea yang sudah jauh-jauh datang dari luar kota. Tapi Rea maklum, karena dia yang mengajak Ef ketemuan dan tidak keberatan.
“Gimana tadi tentang kopi pahit?” tanya Rea memulai obrolan.
“Oh, itu. Ya bener, hidupku sudah terlalu manis, karena di hidupku sudah ada anakku yang cantik,” jawab Ef sambil tersenyum.
Rea pun menanggapi dengan senyuman. “Terus, gimana tentang anak kamu? Dari pada kita bingung mau bahas apa.”
“Dia udah SMP. Kalau aku deket sama perempuan, dia selalu khawatir, takut gak baik seperti almarhum ibunya.”
“Maaf kalau aku buat kamu cerita masa itu,” kata Rea yang baru tahu kalau Ef menduda karena istrinya berpulang.
“Nggak pa-pa.”
“Sudah berapa lama?”
“Sudah 2017 lalu”
Jawaban Ef membuat Rea kembali ke tahun itu. Dia termenung cukup lama karena tahun itu juga masa dimana dia pertama kali jatuh terpuruk.
“Kamu kenapa?” tanya Ef membuyarkan lamunan.
“Eh, nggak pa-pa kok.”
Ef meneguk kopi pahitnya yang sudah datang di sela obrolan mereka tadi.
“Beneran nggak pakai gula?” tanya Rea meringis karena merasa kopi yang diminum Ef itu pahit.
“Kalau mau, biar aku ambilin,” lanjut Rea.
“Aku suka yang begini,” jawab Ef sambil tersenyum. Senyum manis, tapi menyimpan kepahitan.
Mereka pun terus berbincang hingga petang menjelang. Tak ada kalimat-kalimat rayuan atau romantis. Perbincangan mereka menceritakan kisah masing-masing. Ef mengakhiri obrolan itu, meski Rea merasa terhibur dengan pertemuan itu dan tak ingin usai.
“Nanti dulu lah, habis maghrib,” Rea berharap.
“Aku harus pulang sekarang. Lagian nanti kamu kemalaman.”
Dengan hati yang berat, Rea menuruti langkah Ef yang keluar dari cafe. Ef mengantar Rea ke pinggir jalan untuk mencari ojek.
Benar tidak ada niat lebih dari sikap Ef selama itu. Tapi Rea tak menangkapnya. Dia terlanjur terpesona dengan senyum Ef yang dari tadi dia amati.
Mereka berpisah dengan sebuah jabat tangan yang berarti bagi Rea. Sepanjang jalan pulang di dalam bus, Rea terbayang-bayang dengan jabat tangan itu. (***).



















