Reporter: Rendra Fitria R
Editor: Ian Arieshandy
Jakarta, Kabarpas.com – Anggota Komisi IX DPR RI Arzeti Bilbina menyoroti kegaduhan terkait restoran legendaris Ayam Goreng Widuran Solo yang baru terungkap menggunakan produk non-halal setelah lebih dari 50 tahun berdiri. Ia menyayangkan isu ini terjadi lantaran minimnya pengawasan dalam transparansi informasi makanan di ruang publik.
“Kita sangat sesalkan kenapa makanan yang menggunakan produk non-halal tidak mencantumkannya secara terbuka baik di restorannya maupun di akun media sosialnya. Ini sudah lebih dari 50 tahun, kan jadi terkesan membohongi konsumen,” kata Arzeti kepada media di Senayan,Jakarta.
Seperti diketahui, kehebohan restoran Ayam Widuran yang menjual menu non-halal itu bermula dari sebuah akun di media sosial yang mengaku terkejut mengetahui bahwa ayam goreng di rumah makan itu tidak halal. Padahal, banyak pelanggannya yang Muslim. Kekecewaan konsumen juga mencuat di kolom ulasan Google Review, yang merasa tertipu karena menyangka semua menu yang disajikan adalah halal.
Pihak rumah makan Ayam Goreng Widuran pun mengonfirmasi bahwa label non-halal baru dipasang beberapa hari terakhir, setelah muncul banyak komplain dari pelanggan. Arzeti mengatakan, tidak ada yang salah jika pedagang yang menyediakan dengan makanan non-halal namun harus wajib mencantumkan label “non-halal” di restoran ataupun menunya.
“Sudah ada ketentuannya dalam UU Jaminan Produk Halal (JPH). Ketentuan tersebut agar konsumen bisa mengetahui mana makanan yang halal dan tidak halal. Ini sudah puluhan tahun tapi diduga diabaikan, pantas saja kalau konsumen merasa tertipu,” sebut politisi PKB itu.
Adapun menu non-halal di rumah makan ayam goreng yang beroperasi sejak tahun 1973 tersebut diketahui berasal dari minyak goreng untuk bahan kremes. Buntut kegaduhan ini, restoran Ayam Goreng Widuran ditutup sementara untuk menjalani assessment kehalalan oleh instansi terkait.
“Saya sepakat dengan langkah ini demi memastikan kehalalan produk, tapi pihak manajemen tetap harus bertanggung jawab terhadap para pegawainya,” tegas Arzeti.
Anggota Komisi Kesehatan dan Ketenagakerjaan DPR itu pun mendorong Pemerintah untuk mengevaluasi sistem pengawasan untuk rumah makan. Arzeti juga meminta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) serta Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk membangun sistem verifikasi terpadu sebagai langkah perbaikan bagi perlindungan konsumen.
“Khususnya terkait informasi kehalalan produk-produk yang dikonsumsi. Pemerintah, termasuk Pemda dan BPOM tidak boleh abai terhadap proses pengawasan menu makanan. Sistem verifikasi terpadu yang melibatkan koordinasi antar-instansi diperlukan untuk menjamin konsumen mendapatkan informasi yang benar sejak awal,” imbuh Arzeti. (ren/ian).