Menu

Mode Gelap
Wujudkan Mimpi Pebasket Muda Jatim, MPM Honda Jatim Gelar Honda DBL 2023 East Java Series Dukungan Mas Dion Maju Cabup Pasuruan 2024 Kian Masif

Lipsus Muktamar NU ke-33 · 31 Jul 2015 01:09 WIB ·

Inilah 5 Hal Yang Identik dengan NU


Inilah 5 Hal Yang Identik dengan NU Perbesar

Jombang (Kabarpas.com) – Pada awal bulan Agustus nanti, salah satu organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama (NU) akan melaksanakan muktamar yang ke-33 di Jombang.

Pada Muktamar NU kali ini akan berlangsung dari tanggal 1 hingga 5 Agustus mendatang. Acara ini akan ditempatkan di empat pondok pesantren (Ponpes) besar di wilayah Jawa Timur, diantaranya yaitu; Ponpes Tebuireng, Tambak Beras, Denanyar, dan Darul Ulum.

Nah, tulisan kali ini akan  mengungkap tentang 5 hal yang identik dengan NU. Berikut 5 hal yang identik dengan NU tersebut :

1. K.H. Hasyim Asy’ari

Mau tidak mau nama K.H. Hasyim Asy’ari selalu identik dengan NU. Itu karena beliau dikenal sebagai pendiri NU, meskipun faktanya NU didirikan tidak hanya oleh K.H. Hasyim Asy’ari, tapi oleh beberapa ulama lainnya. Nama K.H. Hasyim Asy’ari terlanjur melekat di benak publik sebagai pendiri NU. Ini mungkin karena beliau adalah Rais Akbar (Ketua) NU pertama atau mungkin juga terkait kiprah cucunya, K.H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dan Pondok Pesantren Tebuireng yang didirikannya.

2. Gus Dur

KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur terpilih pertama kalinya sebagai Rais Am (Ketua Umum) PBNU pada Muktamar Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa Timur, tahun 1984. Pada dua muktamar berikutnya Gus Dur kembali terpilih sebagai ketua umum. Dengan kata lain, Gus Dur menjabat sebagai Rais Am PBNU selama lima belas tahun (1984-1999) NU. Inilah yang mungkin menjadi salah satu alasan mengapa NU identik dengan Gus Dur.

Alasan lainnya mungkin karena Gus Dur memiliki nasab yang sangat kuat, baik dari jalur ayah maupun ibu. Selain cucu K.H. Hasyim Asy-ari dari jalur ayah, ia juga cucu dari K.H. Bisri Syansuri dari jalur ibu. K.H. Bisri Syansuri, rais am ketiga NU dan pengasuh Ponpes Denanyar, Jombang, dan juga merupakan ayahanda Hj. Solichah Wahid Hasyim, ibunda Gus Dur.

Ini juga berhubungan dengan patronase kyai-santri yang amat kuat dalam tradisi NU. Pondok Pesantren Tebuireng merupakan ”kiblat” bagi pesantren-pesantren lainnya, khususnya semasa K.H. Hasyim Asy`ari. Banyak kyai besar yang belajar di Tebuireng. Dalam tradisi keulamaan NU, penghormatan seorang santri kepada putra kyainya sama dengan penghormatan kepada kyai. Bahkan, sampai kepada cucu kyai.

Puncak keidentikan NU dengan Gus Dur terjadi ketika Gus Dur mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang mengandalkan dukungan warga NU. Keterlibatan Gus Dur dalam politik praktis itu pulah yang kemudian menghantarkan Gus Dur menjadi Presiden RI yang ke-4 melalui pemilihan langsung yang dramatis di MPR. Itulah puncak karier NU di pentas politik praktis Indonesia.

3. Pesantren

NU adalah pesantren. Pesantren adalah NU. Itulah anggapan yang beredar di masyarakat, meskipun saat ini institusi pendidikan pesantren tidak hanya milik NU. Namun, pesantren sudah terlanjur identik dengan tradisi NU. Ini terutama terkait pesantren tradisional. NU diidentikan dengan pesantren tentu bukan tanpa alasan. NU tumbuh dan mengakar dari tradisi pesantren. Dan, dari pesantrenlah lahir tokoh-tokoh NU. Maka, agak mengherankan bila ada orang NU yang bukan lulusan pesantren.

4. Tahlilan, qunut, dan maulidan

Pernah pada suatu masa, tahlilan, qunut, dan maulidan menjadi ciri seseorang NU atau tidak. Bahkan di beberapa daerah hal ini masih berlaku hingga kini. Padahal, ketiga hal ini bukan inti dari ajaran dan ideologi NU. Ketiganya (selain qunut tentunya) hanya kegiatan yang dipilih oleh NU untuk dapat lebih banyak punya kesempatan Turba (turun ke bawah) dalam melihat dan merekam apa saja yang dirasakan dan dialami rakyat. Qunut sendiri adalah konsekuensi logis dari pilihan NU untuk mengikuti jalur mazhab Imam Syafi’i.

5. Sarung dan kopiah

Nah, bagian ini belum diketahui secara pasti kapan sarung dan kopiah menjadi ciri khas Nahdliyin. Bahkan warga NU sering kali disebut kaum sarungan. Tradisi bersarungan ini sebetulnya kental dan mengakar di pesantren, yang menjadi basis kaum Nahdliyin. Meskipun pada perkembangan mutakhirnya, sarung sudah menjadi ciri khas pakaian kaum muslimin Indonesia. Begitu juga dengan kopiah. Meskipun kopiah sendiri bukan khas tradisi di Nusantara. Namun, kopiah warna hitam sejauh ini memang tak ditemukan di belahan dunia selain Indonesia. (Sumber: Datdut.com )

Artikel ini telah dibaca 120 kali

Baca Lainnya

KH Said Aqil Siroj Kembali Terpilih Jadi Ketum PBNU

6 Agustus 2015 - 13:29 WIB

Inilah Nama-nama Kiai Jajaran Ahwa Pilihan Muktamirin

5 Agustus 2015 - 12:57 WIB

Kantor PBNU Pernah Berada di Pasuruan

4 Agustus 2015 - 12:49 WIB

Inilah Tausiah Gus Mus Yang Bikin Ribuan Muktamirin Berhenti Ribut

3 Agustus 2015 - 21:28 WIB

Gus Mus Pun Menangis Dihadapan Ribuan Muktamirin

3 Agustus 2015 - 20:29 WIB

Pembahasan Tatib Belum Temukan Hasil, Kiyai Sepuh Langsung Gelar Rapat Tertutup

3 Agustus 2015 - 13:47 WIB

Trending di Lipsus Muktamar NU ke-33